Monday 6 July 2015

"Terima Kasih"

Saat-saat pelepasan sudah hampir selesai. Peti akan ditutup setelah pihak keluarga cukup puas melihat jenazah untuk yang terakhir kalinya, walau kita semua tahu tidak akan ada yang mencapai perasaan cukup puas saat melihat orang terkasih untuk yang terakhir kalinya. Dalam situasi apapun sifat manusia yang selalu ingin lebih tetap ada.

Para petugas sudah membawa tutup peti ke dalam ruangan tempat jenazah disemayamkan. "Sudah ya? Petinya sudah mau ditutup," begitulah kata seorang petugas sambil mengencangkan tangannya yang membopong tutup peti. Tiba-tiba saja sebelum petugas semakin dekat dengan peti, dia yang menangis sedari tadi langsung mendekat dengan peti. Dia memegang tangan dari jasad yang terbaring di dalam peti itu. Sambil memandangi jasad yang sudah tenang terlelap, dengan nafas payah yang patah-patah, dia berkata, "terima kasih. Terima kasih untuk semuanya. Terima kasih."

Hari itu adalah pertama kalinya aku mendengar dia mengucap terima kasih kepada jasad dingin yang dulunya hangat itu. Aku sedih. Aku sangat sedih mendengarnya. Air mata tidak lagi dapat ditahan. Akupun berlari keluar untuk menenangkan diri.

Aku sedih bukan karena merasa kehilangan, bukan juga karena kasihan kepadanya yang meninggal atau kepada mereka yang ditinggalkan. Aku sedih karena takut. Aku takut jika aku tidak sempat menyampaikan rasa terima kasihku kepada orang-orang yang aku cintai. Aku takut mereka keburu pergi, keburu mati. Tak lagi mendengar, tak lagi merasakan. Lalu aku akan menyesal dan sedih karena tidak bisa lagi berbuat apa-apa agar mereka mendengarku. Aku tidak ingin mengalami itu. Aku tidak ingin lagi melewatkan kesempatan untuk menyampaikan rasa terima kasihku.

Terima kasih, terima kasih, terima kasih. Tidak akan pernah aku lewatkan... Lagi.


-Arjen L. Melkior

Sunday 28 June 2015

Senja di Jakarta (Bagian 3)

"Masih pagi tapi rokokmu sudah mau habis." Katanya padaku sambil sedikit jinjit untuk melihat isi kantong bajuku. "Iya, aku menghabiskan 10 batang waktu masih di rumah. Nanti aku akan beli lagi di perjalanan ke rumah Bang Moses." Untung saja aku segera menyalakan rokokku, jika tidak, aku tak akan bisa bicara begitu lancar di hadapan wajah cantiknya, tak akan bisa berjalan di sampingnya tanpa gemetar atau tersandung. Aih, pelet macam mana yang kamu tekuni, Renjani?

Ya, Renjani namanya, perempuan yang pertama kali kulihat sebagai wanita yang sebenarnya selain ibuku. Langkah-langkahnya tegas dan anggun, tutur katanya selalu sopan, bahkan ketika kesalpun dia mampu mengendalikan emosinya lalu meramu amarahnya menjadi sindiran sopan yang menusuk. Sifat tegasnya diiringi dengan kepribadian yang menyenangkan, perilaku yang hangat, selera yang sangat bagus dalam segala hal, serta bakat yang membuat aku makin menyukainya.

"Maaf, aku agak terlambat." Berkat rokokku, kini aku sudah bisa bicara sambil menatap wajahnya. "Ah, santai saja. Kamu baru kali ini berangkat ke rumahku pakai sepeda. Jalan sekarang?" "Tentu."
Kami berdua berjalan ke rumah Bang moses yang tidak begitu jauh dari rumah Renjani. Mungkin hanya butuh waktu 10 menit untuk sampai ke sana dengan jalan kaki.

Walau perjalanan sangat sebentar, aku selalu menikmati pemandangan dan suasana jalan yang kami lewati. Pertokoan yang masih rapi dan sepi karena belum ramai pelanggan, anak-anak di taman, kendaraan-kendaraan yang masih bersih dari debu, dan musik keroncong yang mengudara dari radio milik warung 'Serba Ada'. Begitulah nama warung yang terletak sekitar 20 meter dari rumah Bang Moses. Bukan sekedar nama, tapi warung tersebut memang benar-benar serba ada.

"Jani," begitulah panggilanku untuk Renjani, "tunggu sebentar aku mau ke warung Serba Ada, aku harus beli.." "Sigaret Bentoel Biru. Iya, aku sudah tau. Cepat, sebentar lagi latihan sudah mulai." Setelah membeli rokok kesukaanku, kami segera berjalan cepat menuju rumah Bang Moses. Sesampainya di sana, kawan-kawan yang lain sedang menyiapkan alat musik mereka. Soesilo sedang menyetel senar ukulelenya sambil duduk di kursi rotan, sementara itu Roni sudah berdiri dengan bass besarnya yang ia namakan Juwita. Di sebelah Roni terlihat amir yang baru mengeluarkan biolanya dari kotak, sedangkan Othman sudah mengalunkan melodi gitar hawaii nya, menyender pada pilar teras, sembari menunggu yang lain bersiap. "Ah! Ini dia! Penyanyi kita, si pipi merah merona dari Menteng, dan.. Herman, si pengawal. Hahahaha!" Bang Moses menyambut kedatanganku dan Rinjani dengan bersemangat dan agak mengejek sambil memasang simbal drum.

"Nah, karena Anton tidak ada, aku akan menggantikannya main drum, dan posisi pianis kosong dulu sampai kita dapat kawan yang bisa main piano atau drum. Tempo kita bisa ngawur kalau tidak ada drumnya." Bang Moses adalah pemimpin sekaligus guru kelompok musik kami. Beliau adalah seorang musisi berbakat yang dulunya dipecat dari kelompok musik lamanya dan langsung mendirikan kelompok baru sendiri semenjak dipecat lima tahun lalu. Sejak awal didirikannya kelompok musik pimpinan Bang Moses, aku direkrut sebagai pemain ukulele. Aku masuk kelompok ini bersamaan dengan sahabatku Anton yang direkrut sebagai pemain drum. Setiap tiga kali seminggu aku dan kawan-kawan yang lain berkumpul di rumah Bang Moses untuk berlatih musik. 

"Baiklah, kita mulai langsung dari lagu jazz yang baru kita selsaikan partiturnya minggu lalu. Kamu sudah hafal liriknya, Rinjani?" Tanya Bang Moses kepada Renjani. Aku yang tadinya masih duduk santai segera menggapai ukulele yang sudah disiapkan Bang Moses dan ditaruh pada kursi rotan di sampingku. 

"Soal aku sudah hafal atau belum, mari buktikan sama-sama." Jawab Rinjani pada Bang Moses sambil tersenyum manis.


Luka dan derita
seperti aku dan kamu
tak terpisahkan atau tergantikan
tak akan goyah atau bimbang
selalu bersama  berdampingan
menerobos mereka yang mengajak perang

Luka dan derita
seperti aku dan kamu
kita sama-sama tahu
kita ditakdirkan untuk bersama
kita ditakdirkan untuk ada

Luka dan derita
seperti aku dan kamu
dunia tidak menginginkan kita
dunia terus memerangi kita


-Arjen L. Melkior




Friday 19 June 2015

Balok Es

Balok es
dingin dan keras
nampak kuat dan bersinar
terlalu dingin untuk disentuh
terlalu licin untuk digenggam

Balok es
pengundang sepi
Tangan ragu-ragu mendekat
takut tak bisa lepas
dan terluka

Balok es
penyejuk di kala geram
penenang di kala murka
tapi kaku tak berdaya
sulit berbuat apa-apa

Tapi tahukah kamu
balok es yang dingin dan keras
dulunya hangat dan cair?
Tahukah kamu
balok es yang nampak kuat dan bersinar
akan melemah dan tak bersinar saat bertemu hangat?

Balok es
dingin dan kaku
padahal dulu tidak begitu
dia pernah hangat dan mengalir
tenang dan ramah layaknya air

Tapi alam terus berputar
hingga datang waktu  di mana derajatnya direndahkan
Dia yang hangat dan mengalir,
membeku menjadi dingin dan kaku


***

Aku adalah manusia dengan darah, daging, dan tulang, tapi apakah sebutan balok es tidak lebih cocok untukku?





-Arjen L. Melkior

Tuesday 9 June 2015

Senja di Jakarta (Bagian 2)

Aku kenal rokok semenjak umurku masih 13 tahun. Rokok pertama yang aku coba adalah rokok kawung milik kakekku. Aku mencoba rokok bukan karena kehendakku sendiri, tapi kakekku yang menawarkan. Aku ingat waktu itu kakekku sedang berkunjung ke rumah saat hujan lebat mengguyur Jakarta. Hari itu, aku dimarahi habis-habisan oleh ayahku karena pulang terlambat dengan keadaan basah kuyup sehabis bermain di bawah derasnya hujan. Aku langsung gugup tak karuan mendengar suara ayahku yang meninggi saat membentak diriku. Wajahku bengong-bengong, badanku langsung kaku. Ayahku membentakku cukup lama, dari bajuku masih basah, mulai kering, sampai basah lagi karena berkeringat. Kakekku yang sejak awal hanya duduk diam menyadari sikapku yang aneh ketika gugup dan panik. Kakek langsung mengehentikan bentakan ayahku dan menarikku ke teras rumah.

"Kamu ini kurus, tapi kalau sudah mematung karena gugup, badanmu seberat meriam. Aku sudah lama memperhatikanmu, sejak kamu mulai bisa bicara, ketika ada yang mengusik batinmu, kamu langsung gugup, panik, dan tingkahmu jadi tidak sehat." Aku menyimak kata-kata kakekku walau badan masih kaku dan berkeringat. Tidak dinyana, kakek yang lebih sering diam ternyata punya perhatian yang besar untuk orang-orang di sekitarnya, tidak seperti anaknya yang sering marah-marah. "Sampai kapan kamu mau mematung begini?" Tanya kakek sambil meletakkan tangannya pada bagian kiri dadaku. "Bahaya. Jantungmu seperti mau jebol." Kakek mengambil dua lintingan rokok yang ada di saku bajunya, digigitnya satu linting dan lintingan yang satu lagi ia selipkan begitu saja di antara bibirku. Aku masih diam, agak kaget dan juga bingung. Kakek segera mengambil korek kayu yang berada di saku celananya lalu menyalakan sebatang korek. "Hisap perlahan rokokmu seperti minum air begitu ujungnya mulai terbakar. Pelan-pelan saja," katanya sambil membakar ujung rokokku. Aku mengikuti persis seperti apa yang kakekku suruh. Tiba-tiba leherku tercekik asap, aku langsung batuk-batuk tak karuan karena setelah menghisap asap rokok, aku benar-benar menahannya di tenggorokanku lalu ku telan semuanya seperti menelan nasi. Kakekku tertawa kecil sambil sambil mengepulkan asap rokok, lalu dengan wajah tanpa dosa kakekku berkata, "ah, aku lupa beri tahu, asapnya jangan ditelan begitu saja, itu bukan nasi, setelah ditarik, kamu keluarkan dari lubang mulut, kalau sudah pandai, kamu akan mampu mengeluarkan asap dari hidung." 
Entah instruksi kakek yang samar-samar atau aku yang kurang pandai mengandalkan logika. Aku coba ulangi instruksi dari kakek dan berhasil mengepulkan asap-asap putih dari mulutku seperti kakek. Setelah menghisap rokok beberapa kali, badanku tidak lagi kaku, keringat yang mengucur segera berhenti, dan urat wajahku merenggang. "Nah, lihat dirimu. Sudah tidak kaku. Sudah tenang. Aku akan memintakan izin kepada orangtuamu agar kamu boleh merokok. Paling tidak, sehari kamu dapat jatah dua batang. Begitu kamu lebih dewasa, jatahmu boleh di tambah sampai 14 batang sehari. Kalau sudah bisa cari uang sendiri, silakan kamu merokok sesuka hati seperti aku ini. Hahahahahaahah." Kata-kata kakekku betul-betul meragukan, dia seperti sedang bergurau. Akan tetapi, kakekku memang sakti, dia berhasil membujuk ayah dan ibuku untuk memperbolehkan aku merokok. 

Sejak saat itu, rokok selalu jadi obat penenangku di saat gugup dan panik. Karena merokok, aku bisa jadi lebih tenang dan percaya diri dalam menghadapi banyak hal. Dengan rokok, aku bisa menjadi pembicara yang baik dan cukup luwes dalam bergaul. Karena merokok pula, jalan pikiranku jadi lebih tenang sehingga aku bisa menuangkan ide-ide dalam kepalaku ke berbagai bentuk dengan lancar. 

Aku mulai jadi perokok aktif ketika usiaku 17 tahun. Rokok sudah menjadi kebutuhan sehari-hari yang harus selalu ada untuk mengatasi kegugupan dan kepanikanku. Walau rokok sangat efektif untuk mengatasi gugup dan panik, rokok tidak bisa menghilangkan bakat lahirku sebagai seorang pemalu yang agak pendiam. 

-Arjen L. Melkior

Thursday 4 June 2015

Senja di Jakarta (Bagian 1)

Dengan rantang makanan di kiri stang, aku mengayuh sepedaku secepat mungkin menuju rumahnya. Jarak dari Senen ke Menteng cukup jauh juga jika ditempuh dengan sepeda. Ini pertama kali aku datang ke rumahnya dengan sepeda. Biasanya aku dibonceng Anton dengan motor bapaknya, tapi semenjak Anton pindah ke Bandung minggu lalu aku tidak ada pilihan lain selain menggunakan sepeda Raleigh yang sudah umur ini. Aku harap sepeda tua ini tidak akan bikin aku celaka.

Aku terus mengayuh sepedaku melewati jalan raya yang ramai. Pagi itu udara cukup sejuk walau sinar matahari menyilaukan. Baguslah, aku jadi tidak berkeringat. Semoga ketika aku sampai di rumahnya, aku masih wangi sabun mandi. Tidak biasanya aku bersepeda dengan dandanan rapi dan wangi begini. Topi fedora putih, kemeja putih lengan panjang, celana pantalon abu-abu, gesper kulit kerbau, dan sepatu kulit hitam yang baru ku semir semalam. Aku merasa seperti anak kapten Belanda yang sedang bersepeda santai di kota. Tapi, rantang makanan gambar kembang yang aku bawa menjadi identitas pribumiku. Tidak apa, aku merasa cukup rupawan walau sambil bawa-bawa rantang.

Alunan musik keroncong dari pertokoan pinggir jalan membuat bersepeda jadi lebih menyenangkan. Aku bersepeda sambil bergumam mengikuti melodi musik keroncong yang bergema di jalanan. Tanpa terasa, aku sudah sampai di Menteng Raya. Gerbang rumahnya yang dihiasi bunga-bunga bougenville dan anggrek sudah terlihat oleh pandangan mataku. Entah mengapa, setiap aku hampir sampai di rumahnya, jantungku mendadak berdetak lebih kencang, tangan berkeringat, dan nafasku menjadi berat. Aku memang orang yang pemalu dan sering gugup, tapi masa' sudah hampir tiga tahun berteman, aku masih gugup setiap datang ke rumahnya.

Seperti biasa, aku akan membunyikan lonceng kerbau yang digantung di pagar rumahnya sampai Mbok Atun membukakan pagar dan mempersilakan aku masuk. 

"Eh, Mas Herman. Tumben naik sepeda. Biasanya naik motor sama Mas Anton. Nah, Mas Anton kemana? Kok sendiri?" Ujar Mbok Atun. Dari sekian banyak pembantu yang ada di rumah ini, Mbok Atun adalah pembantu yang paling aku ingat namanya. Aku mengingatnya bukan hanya karena dia yang selalu membukakan pintu, tapi juga karena kebawelannya dan kelucuannya setiap menggoda Anton. "Biasanya saya ke sini naik motor Anton, tapi dia sudah berangkat ke Bandung sejak minggu lalu. Jadi, karena sudah tidak ada tumpangan, saya tidak ada pilihan lain selain naik sepeda." Jawabku kepada Mbok Atun. Mbok Atun adalah janda yang sudah memasuki usia 50an, tapi seleranya adalah brondong berbadan kekar seperti Anton. "Yah, gak bisa mbok godain lagi Mas Antonnya. Ya sudah, itu sepedanya parkir di tempat biasa parkir motor saja ya, mas." Kata Mbok Atun kepadaku sambil berjalan kembali ke dalam rumah.

Aku segera memarkir sepedaku di tempat Anton biasa memarkir motornya. Saat sedang memarkir sepeda, aku menyadari kegugupanku sudah hilang semenjak percakapanku dengan Mbok Atun berlangsung. Walau Mbok Atun memang bawel, tapi kebawelan dan kelucuannya itulah yang menyelamatkanku dari perasaan gugup yang bisa bikin aku banjir keringat. 

"Herman?" Tiba-tiba suara lembutnya merambat dari balik punggungku, menyapaku, menyebut namaku. Aih, aku langsung jadi gugup lagi. Aku memutar balik badanku dan langsung dikejutkan oleh dirinya yang ternyata sejak tadi berdiri kurang dari satu meter di belakangku. Aku langsung mematung ketika berhadap-hadapan dengannya. Hidungnya yang bangir membuat membuat jarak kami seakan lebih dekat. Rambut hitamnya yang bergelombang membuat wajah cantiknya semakin menarik untuk dipandang, setelan blouse dan rok biru, serta sepatu hak coklat yang menghiasi kakinya nampak begitu cocok dan menjadi paduan yang indah untuk wanita seperti dia.

"Herman? Ada apa? Wajahmu terlihat kaget seperti habis melihat bedil penjajah." Ucapnya padaku dengan suara lembutnya. Masih dengan wajah kaget dan tubuh kaku, aku segera menyalakan rokok dan menjawabnya, "tidak, tidak ada apa-apa."

Aduuuuuuhh. 


-Arjen L. Melkior

Tuesday 2 June 2015

Surat Untuk Tuhan

Aku tidak tahu apakah Kau mengenalku, tapi ayah dan ibuku selalu bilang bahwa Tuhan selalu siaga dan tahu betul apa yang ada di benak setiap ciptaannya, dalam kata lain, tidak mungkin Tuhan tidak kenal dengan diriku. Ayah dan ibuku adalah orang-orang terdekat yang sangat aku percayai, tapi entah mengapa aku khawatir doaku yang setiap malam ku panjatkan padaMu kurang menarik perhatian, atau pengaduanku kurang pantas untuk Kau gubris. Namun, aku masih berharap, Kau betul-betul mengenalku dan mendengar jeritan jiwaku.

Sejak kecil, ayah dan ibuku adalah orangtua yang sangat menyayangiku. Mereka tak pernah lupa untuk mengajariku tentang segala persoalan hidup dan cara-cara melewatinya. Mereka juga merupakan orang-orang yang sangat taat dalam beribadah dan menjalankan perintahMu. Kedua orangtuaku adalah orang-orang yang aku kagumi. Segala ajaran agamaMu yang mereka tanamkan padaku sejak kecil, aku jalani sepenuh hati, tanpa pamrih, di saat bahagia maupun duka tak pernah aku lupa untuk mengingatMu, ya Tuhan. Rumah kami selalu dihiasi oleh suara pujian-pujian dan doa-doa yang tak pernah terputus, bahkan saat semua tertidur pujian-pujian dan doa-doa itu masih disuarakan dalam hati tiap orang-orang rumah yang tidur dalam tenang.

Setiap hari aku tidak pernah lupa untuk berdoa dan berbuat baik. Aku berdoa dengan tata cara yang sebaik-baiknya dan persis dengan apa yang sudah diajarkan orangtua dan guru-guru agamaku sejak kecil. Aku juga selalu beramal baik seperti nasihat orangtua dan guru-guru agamaku. Mereka bilang, amal yang baik akan melancarkan segala persoalan, meringankan beban, bahkan menghapus dosa. Segala ajaran dari agamaMu sudah menjadi pedoman hidup yang utama bagiku. Entah bagaimana aku bisa begitu yakin, tapi seiring berjalannya waktu aku semakin mempercayaiMu dan memujaMu. Segala hal yang aku lakukan dalam hidupku, aku lakukan dengan sepenuh hati karena aku percaya bahwa pada akhirnya hidup ini adalah pengabdian untukMu, ya Tuhan.

Setiap aku merasa gusar dan terpuruk, orangtuaku selalu mengingatkanku untuk menyebut namaMu, kata mereka dengan begitu hatiku akan menjadi lebih tenang. Di saat aku merasa tak berdaya dan butuh pertolongan, orangtuaku selalu mengajarkanku untuk segera mengingatMu, berdoa, memohon pertolongan kepadaMu, karena hanya Engkaulah maha penolong lagi maha menghendaki. Ketika Engkau berkehendak, maka terjadilah. 

Seumur hidupku, aku telah melewati berbagai cobaan dan kesulitan, dan seperti apa yang selama ini sudah diajarkan kepadaku, aku selalu berpaling kepadamu untuk mohon pertolongan dan ampunan. Kini, setelah bertahu-tahun hidup sebagai lelaki dewasa, akhirnya aku sampai kepada pergejolakan batin yang tidak bisa aku atasi. Aku menderita dan menyedihkan.

Aku tidak pernah punya maksud untuk menjadi pendosa, tapi ada sesuatu dalam diriku yang tidak bisa aku tolak. Sesuatu yang bertentangan dengan agamaMu. Sesuatu yang sangat tabu. Sesuatu yang memalukan bagi keluargaku. Aku sangat taat dalam menjalankan perintahMu, aku tidak pernah lupa beramal baik, aku tidak pernah sekalipun melewatkan waktu untuk beribadah, aku sangat menghormati kedua orangtuaku, kepada orang asing pun aku tetap hormat dan tak pernah punya niatan jahat. Akan tetapi, ada suatu kebutuhan dalam diriku yang bertentangan dengan agamaMu. Bukan sekedar kebutuhan, tapi aku merasa memang seharusnya begitu. Ada sesuatu yang tidak sesuai dan ingin ku benahi, tapi membenahinya merupakan dosa, bahkan memikirkannya saja sudah dosa. 

Ya Tuhan, apakah aku ini sebenarnya? 

Setiap malam aku menangis dalam setiap jeritan doaku padaMu. Doaku yang penuh tanya dan cita-cita yang tak bisa aku pendam. Aku ingin jadi perempuan. Aku adalah perempuan. Tapi, aku bingung, apakah aku sedang dipengaruhi setan? Akan tetapi, aku sudah merasa begini bahkan sebelum aku mengenal dunia. Ya Tuhan, aku tidak bermaksud mengkhianatiMu, aku hanya berusaha jujur. Bayang-bayang nerakaMu selalu menghantui, tapi aku tetap tak sudi melepas fakta bahwa aku sebenarnya adalah seorang perempuan. Namun, bukankah Engkau maha penolong dan maha menghendaki? Dan hanya Engkau yang paling pantas menjadi tempat berpaling di saat hati dilanda gundah gulana?

Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Aku percaya, Engkaulah penolongku yang maha menghendaki segalanya bahkan yang mustahil bagi manusia sekalipun. Aku percaya akan keberadaanMu. Aku yakin pengabdianku selama ini untukMu bukanlah wacana semata. Oh Tuhan, tolong aku.

Aku menjerit, menangis, berdoa, memohon kepadamu, jadikan aku perempuan yang seutuhnya, dan jika memang aku lelaki, tolong hentikan cobaan ini, aku sudah tidak tahan lagi. Aku mengerti permohonanku sangat tidak masuk akal, permohonanku bertentangan dengan takdir lahirku. Tapi bukankah Engkau yang maha menghendaki? Ketika Engkau berkehendak maka terjadilah, begitu kan? Aku sangat bingung, apakah aku berdosa untuk memohon hal yang sedemikian rupa kepadaMu? Tapi aku tidak tahu lagi harus berlari kemana, di dunia ini, yang aku tahu maha menghendaki segala-galanya hanyalah Engkau. Tolong aku, ya Tuhan.

Ya Tuhan, Engkaulah yang maha pengasih lagi maha penyayang, Engkaulah yang maha menolong dan maha menghendaki. Ya Tuhanku yang maha menghendaki segala-galanya, kabulkanlah permohonanku. Aamiin.


Tertanda,
Waria pasar ikan


-Arjen L. Melkior

Monday 1 June 2015

"Kenapa kamu bilang begitu?"

Kepalanya yang berat tersandar pada pundakku. Aku berusaha menatap wajahnya, tapi dia selalu berpaling dan langsung membenamkan wajah lembutnya di bawah leherku. 

"Kenapa kamu bilang begitu?" Katanya sambil masih membenamkan wajahnya di bawah leherku. Aku terdiam sejenak, masih terlena dalam sentuhan lembut wajah hangatnya yang beradu dengan leherku yang dingin. Entah mengapa, badanku selalu dingin seperti drakula, sementara badannya selalu hangat seperti manusia yang sedang demam. Tapi perbedaan itulah yang sangat kami nikmati ketika bersama. Aku yang dingin menikmati kehangatannya, dan dia yang hangat menikmati sejuk tubuhku.

"Apa kamu tertidur?" Tanya dirinya padaku, sambil masih membenamkam wajahnya dibawah leherku. Aku diam terlalu lama, tenggelam dalam suasana, dan hampir lupa dengan pertanyaannya. "Belum, aku belum tidur," jawabku. Kemudian dia mengulang lagi pertanyaannya. "Kenapa kamu bilang begitu?"

Aku bingung harus menjawab apa, sebab cara dia bertanya sambil membenamkan wajahnya dibawah leherku, sangat manis apalagi dengan suaranya yang kecil dan malu-malu. Aku tersenyum dan tertawa kecil sampai akhirnya dia menggenggam bajuku dengan kuat karena gemas pertanyaannya  belum terjawab. "Baiklah akan kujawab sekarang." Ucapku padanya.

Malu-malunya hilang sejenak, dia tidak lagi memalingkan wajahny. Kini dia terlihat antusias menatapku, menunggu aku segera menjawab pertanyaannya. Sambil memandang langit-langit ruang, aku berkata dengan tenang, "aku bilang begitu, ya karena begitulah adanya. Aku sayang kamu. Bukan kamu yang lain, bukan kamu yang anak dari bapak-bapak atau ibu-ibu lain, pokoknya ka..."

"Aku juga menyayangimu."
Tiba-tiba dia menyambar. Jantung berdebar. Dia memejamkan mata karena malu, tersenyum, lalu kembali membenamkan wajahnya di bawah leherku. Aku masih tercengang, berusaha tenang, lalu memeluknya lebih erat lagi.


- Arjen L. Melkior