Saturday 28 March 2015

Puisi Sebatang Rokok

Ketika sepi menjadi tamak
Dan jantung pun membatu
Asap bergemuruh
Tarikan demi tarikan
Dan kepulan demi kepulan
Luka dan bahagia silih berganti
Tarik dan kepul sampai mati

Bingung meradang
Keliru mencekik
Perasaan disepak kesana kemari
Tarik dan ulur sampai mati

Dibuai dan dibuang
Dilumpuhkan tapi tetap berjuang
Berlari
Berjalan
Merangkak
Hingga sisa tangan dan siku
Terus maju sampai mati

Asap dan asap membaurkan
Membutakan mata terhadap luka
Mengasingkan hidung dari aroma duka
Telinga budek dari tangisan
Menahan kelopak mata
Menyimpan tangis
Simpan dalam-dalam sedih
Makan sendiri dalam hati

Biar asap menyelimuti
Sampai fajar esok hari
Dan ketika asap tak ada lagi
Tak perlu gelisah itu lagi
Hangat surya menyembuhkan
Lupa semua derita
Sterilkan segala duka
Siap kembali bertaruh hati
Siap kembali menyabung nyawa


- Arjen L. Melkior








Monday 23 March 2015

Jalan-jalan

Setelah sekian lama aku berjalan, sudah tak terhitung berapa kali aku merogoh kantong celanaku, mengambil ponselku, lalu memeriksa ponselku itu sambil terus berjalan dan menunduk. Tidak terasa sudah hampir gelap. Aku yang kebanyakan menunduk ini sampai tidak sadar keadaan langit karena jarang mendongakkan kepala.

Hari sudah makin gelap. Walau lampu jalanan menyala, tetap terlalu gelap bagi mataku. Bahaya kalau aku banyak menunduk ketika berjalan di malam hari begini. Sebaiknya aku singkirkan dulu ponselku. Aku tidak mau celaka. Aku masih ingin bernafas, paling tidak sampai hari pertemuan kami.

"Hampir saja!" Ucapku dalam hati. Sebuah motor dengan seenaknya naik ke trotoar dan berusaha menyalipku. Dasar bajingan lalu lintas. Tidak terima macet, jatah pejalan kaki malah diembat. Setan. Jalang. Bajingan. Bandel sekali. Untung sejak tadi aku sudah inisiatif untuk tidak sering-sering menunduk untuk memeriksa ponselku, kalau tidak, mungkin aku sudah jadi daging bolong-bolong akibat ulah pengendara kampret itu.
Aku terus berjalan menuju arah yang tak pasti, entah apa pula yang aku tuju. Aku tetap berjalan melewati hiruk pikuk kota yang dihiasi lampu-lampu gedung, jalanan, dan kendaraan. Kini beda dengan beberapa jam sebelumnya. Aku lebih sering mendongakan kepala, berusaha mencari keberadaan bulan atau bintang. Membayangkan, jika dia pun sedang memandangi langit yang sama walau tanah berbeda. Ah,    khayalan babu. Di perkotaan seperti ini sulit mengamati benda langit di malam hari. Aku hanya melihat puncak gedung-gedung. Cahaya benda langit kalah oleh lampu-lampu kota ini. Tunggu. Ada bintang! Iya! Cukup terang juga bintang itu! Apa itu Venus? Lah, kok bergerak cepat? Sudahlah, persetan dengan benda langit, itu cuma pesawat lewat.

Aku turunkan kembali derajat pandanganku karena kecewa terhadap langit perkotaan. Kepalaku mendadak puyeng. Pandanganku membaur kehitaman. Ya, tekanan darahku yang hipotensi ini sepertinya kambuh. Tidak lama kemudian pandanganku kembali normal. Aku langsung meraih sebatang rokok dan korek api dari kantong kemejaku. Sebatang rokok mungkin akan membuatku merasa lebih baik. Entah darimana aku mendapat logika semacam itu, tapi paling tidak ketika aku merokok aku akan lupa dengan keadaan tekanan darahku, dan sikap manja terhadap penyakitku akan segera sirna di hisapan pertama.

Aku terus berjalan menyusuri jalanan yang padat dan ramai sambil mengepulkan asap rokok. Hari sudah semakin malam. Tukang martabak dan abang gerobakan serta rumah makan tenda sudah mulai menjamur. Aroma makanan melayang-layang, terhirup hidungku yang kemudian mengirimkan sinyal kepada otakku, "aku lapar.".

Aku harus segera makan malam sebelum sakit perut dan menderita maag. Banyak aku dengar cerita teman-temanku yang kerabatnya meninggal dunia karena penyakit maag. Amit-amit. Aku tidak mau mati konyol apalagi sampai sempat dirawat di rumah sakit hingga menghamburkan uang banyak karena sesuatu yang konyol. Lagipula, aku memang sudah lapar dan rokok ini malah semakin mencekik perutku.

Tanpa sadar, ternyata aku sudah berjalan cukup jauh selama berjam-jam. Tidak heran kalau aku betul-betul lapar, bukan sekedar lapar mata atau tergoda aroma makanan. Aku memutuskan untuk segera mampir makan di tempat makan nasi uduk yang terletak dipinggir jalan. Tempat ini menggunakan teras suatu gedung yang sudah tutup. Terasnya cukup bersih, sehingga pengunjung bisa lesehan di atas karpet yang disediakan. Wah, aku baru ingat tempat makan nasi uduk ini adalah tempat makan legendaris yang sering diceritakan ibuku. Tempat ini sudah ada sejak zaman ibuku masih jadi remaja gaul yang suka nongkrong sana-sini. Memang, nasi uduk disini bisa menjadi begitu legendaris karena usianya sudah tua dan nasi uduknya memang lezat.

Usai makan, aku menyalakan sebatang rokok dan segera menghisapnya dengan tampang kekenyangan yang relatif mirip tampang orang sesudah orgasme. Sungguh nikmat bisa makan enak dan murah lalu menghisap satu dua batang rokok setelahnya. Inilah yang namanya surga manusiawi kecil-kecilan. Suatu kebahagiaan sederhana yang menjadi surga kecil manusia dan bisa menjadi lebih nikmat lagi jika dinikmati bersama orang-orang terdekat dan tersayang.

Pikiranku tiba-tiba melayang kepada dirinya. Kenikmatan kecilku tersentak seketika. Apa kabar dia? Apakah dia baik-baik saja? Aku segera merogoh kantong celanaku, mengambil ponselku, dan memeriksa ponselku sambil menunduk. Belum ada pesan apapun darinya. Sejak hari masih terang hingga aku sudah kenyang dan matahari sembunyi, belum ada kabar apapun darinya. Lalu, sekarang apa? Aku harus apa? Aku harus kemana? Teman-temanku sedang sibuk dan sulit dijangkau. Aku sendiri juga sudah kenyang. Aku tidak mau menghamburkan uang untuk nongkrong-nongkrong sendiri. Sebaiknya aku pulang.

Aku segera membayar bon santapan malamku itu kepada abang nasi uduk lalu beranjak dari tempat lesehan dan kembali berjalan sambil mengepulkan asap rokok. Aku berjalan pulang dengan rokok di tangan kiriku dan ponsel di tangan kananku. Siapa tau dia tiba-tiba mengirim pesan dan memberi kabar. Aku ingin segara membalasnya. Aku tidak ingin membuatnya lama menunggu. Paling tidak, aku berusaha untuk itu.

Pada akhirnya, segala hal yang aku lakukan dalam satu hari penuh adalah satu hal yang sama yaitu menunggunya, berusaha mengalihkan perhatianku darinya. Namun, nampaknya aku memang sudah sayang betul dengannya, sepadat apapun pikiranku, tak akan pernah luput perhatianku terhadap dirinya.

Aku harap dia baik-baik saja dan bahagia. Tidak bandel seperti pengendara yang aku temui beberapa jam lalu, dan turut menikmati surga manusiawi kecil-kecilan disana seperti diriku disini.

Aku pun terus berjalan dan berjalan, mengepulkan asap rokok sambil membawa pulang harapan dan kepercayaan bahwa dia baik-baik saja. Dia akan pulang.


- Arjen L. Melkior

Saturday 21 March 2015

Solar System

This is not a science class
I am taking you on a trip to see the solar system in my head
No fees to pay, just a free pass in a form of trust

My brain is the sun.
The thoughts I have in mind are planets,
moving in circles, evolving around my sun.
Some thoughts are random space matters floating away after a while,
some stays around and let themselves to be exposed by the light of my sun once in a while.

On the farthest radius of orbits from the sun, lies the planet of dislikes and hate.
It consists of dark matters of hate and minerals of dislikes
Orbiting with a slow speed
Lacking light and attention from the sun
Hate and dislike are two different things, I know
I just don't want to spare too much space for trash bin of my mind

There are six other planets revolving closer to the sun
Planet of childhood memories
Planet of daily memories
Planet of work and study
Planet of awareness
Planet of  needs and wants
Yes I know that's only five
But that is not the point
Those five planets revolves around my sun with average speed,
get almost the same amount of light and attention from the sun,
and also average space in the solar system

There is only one planet with the closest orbital ring to the sun,
revolving faster than any planet,
extracts major attention from my sun,
the most powerful planet to win more space in the system
and is awarded with great attention from another big star called the heart
The planet's name is Raztavar, the only planet with an actual name
It consists of the thoughts of those people I love the most - my main family,
my bestfriends, they are all in the same category. They're my family.
And there's you. No, you're not in the same category.
Yes we are like family, but there's something different.
Is this what they call a romantic kind of love?

*
With you being there in Raztavar,
can you imagine how much attention you get from my sun,
how much light that shines on you every day that I can't get my eyes off of you?
Can you imagine how so very frequently I think of you with that fast revolving speed of the Raztavar?
Can you imagine how precious you are as an element of the Raztavar that even gets attention not only from the sun, but also from another big star called the heart?

*

You are the apple of my eye,
the main act of my stage,
the closest to my sun,
the citizen of my heart,
the permanent resident of my mind.

Long story short,
You are always on my mind,
stay safely in the heart of mine.


*

Thank you for coming with me on a trip in my head.
Please keep and take care of the free pass that I gave you. 




- Arjen L. Melkior

Tutup Kasus Penyalahgunaan Usaha

Setelah pengajuan surat dari tersangka kepada penggugat, penggugat memaklumi kesalahan yang telah dilakukan oleh tersangka. Berikut dialog yang terjadi dalam penutupan kasus penyalahgunaan usaha.

Tersangka: Jadi, apa saya dimaafkan?

Penggugat: Permintaan maaf diterima. Tersangka saya ampuni.

Tersangka: Apa saya dibebaskan dari tuntutan?

Penggugat: Bebas bersyarat.

Berikut terlampir syarat-syarat dari penggugat yang harus dipenuhi oleh tersangka setelah dibebaskan dari tuntutan:

1. Belajar dari kesalahanmu.

2. Lebih jujur soal perasaanmu.

3. Perlihatkan aku dunia yang ada di kepalamu itu lewat tulisan-tulisanmu.

4. Jangan takut.

Dengan demikian, tersangka bersedia memenuhi syarat dan meneima konsekuensi atas perbuatannya. Maka, dengan ini, kasus resmi ditutup.

((Ketok palu))




-Arjen L. Melkior

Friday 20 March 2015

Surat dari Tersangka Kasus Penyalahgunaan Usaha

Kepada Yth:
Penggugat


Hati dan pikiranku adalah sebuah rumah yang aku sebut rumah jiwa. Rumah itu sudah pernah melewati berbagai cuaca, diguncang sekian gempa, dan dimakan waktu.  Aku begitu kapok dan takut akan terulangnya lagi berbagai bencana itu. Maka aku dirikan tembok-tembok kebencian dan ketidakpedulian yang begitu kokoh agar rumah jiwaku yang sudah rusak ini tidak semakin rusak.

Suatu hari, kamu datang dengan rasa ingin tahu, kebaikan, dan adat anti-menyerahmu. Kamu tanpa ragu menghancurkan tembok-tembok itu dengan tiga hal yang kamu bawa itu sehingga nampaklah rumah jiwaku yang bobrok ini. Kamu menemaniku, memperlakukanku dengan sangat baik, tak luput pula perhatianmu itu dari kesadaran untuk memotivasiku agar menjadi lebih baik dari sebelumnya dan berhenti menyelimuti rumah jiwaku di balik tembok-tembok kebencian dan ketidakpedulian.  Kamu telah sukses membawa kembali angan, harapan, dan keyakinanku yang lama telah hilang.

Aku menyukaimu. Tapi, ketulusanmu dalam segala hal yang kamu lakukan mendewasakan "suka" menjadi "sayang" dan menghadirkan hal baru pula dalam diriku, "cinta". Aku tidak main-main. Aku betul-betul merasa demikian. Aku betul-betul dengan tulus menyayangimu. Aku tidak dipaksa atau terpaksa. Menyayangi ataupun mencintaimu ibarat sesuatu yang sudah mengalir begitu saja di dalam pembulu darahku. Kamu pun memang berhak untuk disayangi, dicintai, dilindungi, dan diperhatikan.

Maka perlahan-lahan aku mulai membangun kembali rumah jiwaku dengan segala ketulusan. Aku bangun kembali rumah jiwaku dengan cita-cita bisa membahagiakanmu dan memperlakukanmu sebaik-baiknya seorang manusia. Aku sangat ingin melakukan yang terbaik untukmu. Aku sangat berhati-hati, malah mugkin terlalu hati-hati karena saking takut salah langkah.

Namun, aku rupanya masih terlalu bego, terlalu sok tahu dan buru-buru dalam membangun kembali rumah jiwaku. Aku terlalu keras, aku memforsir diriku untuk melakukan yang terbaik. Dan tanpa aku sadari, ketika aku berusaha terlalu keras, hasilnya malah berantakan, banyak kesalahan, perhatianku kurang detil dan merata.

Lebih begonya lagi, aku tidak langsung menyadarinya. Aku masih terlalu keras berusaha sampai kamu marah, kesal, sedih, kecewa, dan sakit. Kata-katamu yang berbalut kesedihan, kekecewaan, serta rasa sakit itu bagai badai yang datang dan memorak-porandakan sebagian dari rumah jiwaku.

Aku sedih, bukan karena rumah jiwaku diterpa badai. Aku sedih karena baru menyadari betapa jeleknya rumah jiwa yang aku bangun demi dirimu itu. Iya, aku sedih. Tapi aku tidak marah biarpun kamu telah mendatangkan badai bagi rumah jiwaku.

Badai itu merupakan berkah bagiku. Suatu hantaman untuk menyadarkanku agar aku tidak melangkah lebih jauh ke dalam jurang kesesatan yang berujung pada kesengsaraan.

*
Maafkan aku lantaran bego
Bego karena tidak menyadari kesalahan dalam cara-caraku memperlakukanmu

Maafkan aku lantaran apatis
Apatis karena masih saja kurang memperhatikan dengan detil

Maafkan aku lantaran egois
Egois karena terkadang terlalu memikirkan hanya apa yang tersimpan di pikiranku tanpa menanyakan apa yang kamu pikirkan

Maafkan aku lantaran kurang jujur
Kurang jujur soal kesedihanku

Maafkan aku lantaran malu
Malu karena takut dianggap selamanya cengeng dan bego

Maafkan aku lantaran takut
Takut mengecewakanmu sehingga aku terlalu hati-hati dan malah membuat kesalahan

Maaf, di luar kesadaranku, ternyata aku bego, apatis, kurang jujur, pemalu, dan penakut. Namun, ketahuilah, tak pernah ada sedikitpun maksud di dalam benakku untuk memperlakukanmu dengan tidak baik apalagi sampai mengecewakanmu. Aku hanya ingin melakukan yang terbaik untukmu. 

Tapi, lagi-lagi aku lupa. Terkadang, apa yang kita kira adalah sesuatu yang terbaik, ternyata bukan sesuatu yang terbaik juga bagi orang lain.

*

Terima kasih sudah  menyadarkanku sebelum terlalu jauh. Terima kasih, kamu telah mempercayaiku dan jujur kepadaku soal perasaanmu. Terima kasih.

Kini, dengan segala kesadaran dan kemauan untuk berkembang yang aku miliki, aku ingin memperbaiki kembali rumah jiwaku. Aku ingin mencintaimu dengan benar - dengan sederhana.

Salam sayang,
Tersangka Kasus Penyalahgunaan Usaha




-Arjen L. Melkior

Monday 16 March 2015

Dumb and Numb

I was just a moving pack of flesh
No soul, no heart, just systems moving like gears in an analog clock

I was a cold-hearted man
All the good and bad things they thought I did
Are just my manner of killing my time

I was just a factory standard prototype
All the thoughts and plans I had in mind
Are just series of schedules that I strictly follow every single day

I was dumb for thinking all the things I did were right

I was dumb for putting the triangle block into the circle hole,
for having a mindset that all the things I had and did were how they're supposed to be.

I was dumb for thinking that it's alright

I was dumb for feeling comfortably numb

I was, indeed, dumb and numb

After all,
I was just a dumb and lonely soul waiting to be saved

With all the sanity and humbleness I think I still have left, I ask of you

Will you break this wall of dumbness and numbness?

Will you save me?


-Arjen L. Melkior







Sunday 15 March 2015

Humans Are Funny

Do you remember how optimistic you were when you were younger?
"I want to be a teacher."- Age 5
"I want to be a doctor."- Age 7
"I want to be an astronaut."- Age 8
"I want to be an athlete."- Age 10
"I want to be an actor."- Age 12
"I want to be a musician."- Age 13
"I want to be a prime minister."- Age 15
"I want to be rich and famous."- Age 16
"I want to graduate and get a good job with easy money!"- Age 17

*

As you get older, things are getting bigger than how they used to be. Responsibilities haunt you every single day. You are learning that life isn't as simple as the concept of good and bad. What you thought was fun when you were younger, turns out to be another weight you have to carry on your aching shoulders. 

Then comes "Love".

Love strikes into every human's life out of nowhere. It spreads quickly like a deadly virus in a flash snatch. It provides humans with motivation in the name of pain and pleasure. Its selfish traits push humans to make this fragile thing called 'Love' as their priority in life.  Love promises humans a lifetime happiness - after episodes of pain and misery. 

As humans get older, they get wiser. 

As humans get to know 'Love', they get hurt, for they are to be stronger in time.

As humans get to know 'Love', they are survivors in the making.

As humans get to know 'Love', they understand better.

As humans get to know 'Love', they are learning.

As lessons learned, you are complete.

*

Do you remember how optimistic you were about what do you want to be when you were younger?

As you get older, you realize that all you want is just to be happy.

As you get to know love, all you want is just to be happy with your loved ones.

And in the end, all you want is just to be that one person who is able to make your loved ones happy. 
Even if it takes your power, your pleasure, your pride.


Humans are funny.


-Arjen L. Melkior

Saturday 14 March 2015

Tango Dilema dan Derita (Babak 1)

Di sudut ruangan sore itu, dia duduk di lantai. Kakinya ditekuk dan dipeluknya rapat-rapat hingga paha bertemu dada. Kepalanya ia tundukkan hingga dahi menyentuh kedua lutut. Nafasnya patah-patah. Sesekali ia mengusap-usap hidung dan matanya. Kedua lengan baju dan sebagian celananya sudah basah dan lengket.

Dia adalah perempuan baik-baik yang sangat mencintai seorang lelaki yang berpikir dengan zakarnya. Dia adalah perempuan baik-baik yang sangat suka memberi tanpa pamrih. Dia adalah perempuan baik-baik yang memberi keperawanannya tanpa pamrih kepada seorang lelaki yang akalnya berpusat pada zakarnya. Dia adalah perempuan baik-baik yang baru ditinggal seorang lelaki yang sangat ia cintai. 

"Usia belum matang, dan aku sudah tidak perawan." Ucapnya datar dengan mata menerawang dan rahang bergetar. Badannya kotor dibalut lumpur dosa. Telinganya hampir tuli, jantungnya hampir bocor ditusuk-tusuk hinaan dan makian. 

"Aku sudah habis. Hal yang seharusnya menjadi modalku untuk tetap bisa menyandang cap manusia yang baik, aku lepaskan begitu saja dengan cara-cara haram. Aku bodoh. Aku terbujuk rayuan setan bengal, dimakan nafsu, lalu bergejolak tanpa pikir panjang. Pandangan keluarga, teman, dan masyarakat sekitar terhadapku hancur berantakan. Aku dihina, dicaci, dimaki, dilepeh dari lingkungan sosial karena kebodohan fatalku. Aku disebut binatang karena nafsu yang menggila, aku dikutuk dengan sebutan jalang, aku diancam dengan ramalan-ramalan nasibku diakhirat. Aku dikucilkan karena aku sudah dianggap contoh buruk yang kotor dan menjijikan."

Aku memandanginya bicara dengan khusyuk dan kemudian memeluknya.  Begitu aku memeluknya, badannya yang tegang mendadak rileks seakan ada suatu beban yang terangkat. Masih dalam pelukan, aku berkata padanya dengan tenang, "sudah, jangan cengeng. Lelaki itu bangsat, betul. Kamu berdosa, betul juga. Sana cuci muka dan ganti pakaian. Kamu jadi terlihat betulan kotor bersimbah ingus begini."

Tiba-tiba ia merenggangkan dirinya dari pelukanku. Isak tangisnya berganti dengan wajah penuh tanda tanya. "Kamu mendengarkan penderitaanku dengan seksama lalu memelukku dengan sangat tulus. Tapi begitu kamu membuka mulut, tidak kudengar sedikitpun belas kasihan darimu. Aku jengkel... tapi kamu tidak menghinaku. Aku tidak mengerti."

*

Aku tidak mau mengasihaninya. Belas kasihan adalah senjata paling mematikan bagi jiwa manusia. Belas kasihan ibarat pistol berbentuk botol susu. Terlihat aman dan mampu memberi kenyamanan namun mematikan. Belas kasihan hanya akan menghambat seseorang untuk bangkit dan berusaha. Dengan spesialisasinya dalam menenggelamkan manusia dalam kesedihan yang berkepanjangan, belas kasihan itu akan tumbuh menjadi pembunuh.

Akupun tidak mau menghinanya. Apa hakku untuk menghina? Dia memang bodoh dan berdosa, tapi apa bukan namanya jahat dan tega bilamana kita menyerang orang yang menderita dengan berbagai hinaan? Bukankah kita juga binatang yang liar jika dengan seenaknya mencaci orang yang menderita dengan sebutan binatang? 

Aku sendiri juga makhluk hidup dengan keterbatasan. Siapalah aku ini untuk menjauhi dan menghukum dia karena dosanya. 

Tuhan yang berkali-kali dikhianati milyaran manusia  pun masih mau mengampuni.

*

Jangan cengeng, jangan sombong.


- Arjen L. Melkior

Friday 13 March 2015

A Sweet Serial Killer

You're a psychopath
A sweet serial killer
Drag me into your deep dark lair
Caress me like a dragon's egg
Squeeze my hands in your warm hold
Pulling me in and out of troubles
Apologize like a servant, for I am your lord
Cure my miseries every night better than a wife
Always near to kill my fears
You have no heart like a devil
You have no aim for possession
But you're always there watching me over time
In the roaring traffic road, in the silence of your lonely bar
Keep on loving me near or far

-Arjen L. Melkior
Congratulations. You stole my heart.

Thursday 12 March 2015

Sehabis Musibah, Adakah Berkah?

Sebuah judul yang merupakan sebuah pertanyaan. Pertanyaan yang diam-diam punya harapan.

"Sehabis musibah, adakah berkah?"

Seringkali aku bertanya demikian sambil diam-diam berharap bahwa jawabannya adalah iya. Diam-diam aku berharap memang berkah itu ada nantinya. Aku  tidak tahu kapan berkah datang, namun keyakinan bahwa berkah itu pasti adanya membuatku terus hidup, mengasah mata pisau kegigihanku, menimang harapanku dengan hangat dan sangat hati-hati. Kedatangan berkah begitu tentatif, tidak ada jaminan otentik, tapi keyakinanku bisa-bisanya dengan mantap memberi garansi bahwa berkah itu akan datang pada waktunya. Ia tidak akan terlambat, ia tidak fana, ialah hak manusia.

Berkah bukan sesuatu yang instan. Berkah bukan kado ulang tahun yang datang begitu saja. Berkah bukan barang yang bisa dibeli. Kalaupun berkah itu suatu benda fisik yang nyata dan tertangkap indera manusia, maka seluruh dunia akan berperang untuk memiliki benda itu karena uang sebanyak apapun tak mampu membeli berkah maka nyawa dan harga diri yang menjadi taruhannya. 

Berkah bukan sembarang hadiah atau upah. Berkah merupakan karunia Tuhan yang berupa kebaikan bagi kehidupan manusia. Kebaikan yang berkesinambungan. Tidak heran manusia berjuang demi berkah, menjadi baik dan menerima kebaikan adalah impian dari hati kecil tiap manusia.

Setiap hari kita sudah ditunggu oleh medan yang berat - sebuah rute tanpa rambu dimana kita dipaksa berjalan, bergerak menembus derita dan nyeri; dipaksa bertahan sampai tujuan setelah sudah berkali-kali ditempa baja, ditoreh keputusasaan, dimakan lautan duka, digempur kekecewaan. Cuma modal keyakinan, harapan, cita-cita, dan cinta yang kita bawa dan kita tetap nekat bergerak melalui berbagai musibah dengan iming-iming berkah di kepala kita. Syukur-syukur kalau belum keburu mati. Tapi manusia terus bergerak dan waktu terus berputar. 

Bukan lagi suatu hal yang tabu ketika ada mereka yang keburu mati sebelum sempat mencicipi berkah. Mati rasa, mati lahir batin. Sehabis musibah, malah mati kemudian. Lalu Tuhan mereka jadikan tersangka atas ketidakadilan yang mereka rasakan. Sungguh merugi mereka yang berpikir demikian. Merekalah sebaik-baiknya contoh orang yang menyianyiakan berkah. Saat berkah itu sebenarnya datang dan singgah, mereka tidak menyadarinya, atau lebih parah lagi mereka tidak merasa cukup. Akhirnya mereka menolak mentah-mentah karena merasa mereka patut mendapat lebih. Tapi itulah adat jelek manusia yang sering kumat, selalu ingin lebih dan lebih tapi tidak ingat persis setimpalkah perjuangan mereka dengan apa yang mereka inginkan. 

Bersyukurlah, maka berkah-berkah kehidupan itu akan semakin jelas keberadaannya, semakin dekat jangkaunnya dari jemari kita. Belajar bersyukur dalam setiap musibah yang sudah dilalui, maka akan terbukalah mata dan hati kita pada berkah-berkah yang selama ini terus berputar mengiringi kehidupan manusia. Sehabis musibah, ada berkah.

Jika suatu saat nanti kau bertemu dengan berkah itu, jangan berhenti. Syukuri, maju, dan terus maju. Bergerak, rubuhkan lagi medan kehidupan yang menanti di depan, jangan tunda-tunda bahagiamu.


-Arjen L. Melkior

Wednesday 11 March 2015

Mata dan Mata

Mata dan mata bergerak, tertatih, seakan masih ada sedikit sinar yang mereka rindukan. Mata dan mata itu berhamburan dimana-mana. Sesekali aku berpapasan dengan satu dua pasang, dan mata-mata itu menyapa dengan bersitan sinar angan dari balik iris mereka.

"Maaf." Ujar mataku, dengan rasa bersalah karena tak mampu membalas sinar  mata dan mata itu dengan balasan yang setimpal.

"Maaf, yang ada di balik kedua lensa mata ini hanya bayangan yang menari-nari dengan segala asa yang tersisa."

"Maaf, yang kupunya tak sebanding dengan sinar angan yang menari-nari di balik lensa mata dan mata itu." Maka karena tidak tega, kepalaku menunduk, melindungi mata dan mata yang malu-malu.

"Dasar pemalu." Protes hidungku yang dengan sombong tetap menjulang walau kepala tertunduk.

Sebuah suara dari dalam benakku menimbrung dengan lembut, "dia bukan pemalu, dia sedih."

Dan mereka semua, bungkam.


Arjen L. Melkior
Jakarta, 2015

Tuesday 10 March 2015

Koordinat (0,0)

Banyak yang akan cukup bingung dengan judul post pertama blog gue. Bukan, ini bukan blog orang baik yang suka nyediain rumus cepat matematika buat siswa SMP-SMA ataupun mahasiswa yang kepepet mau ujian. Bukan, ini pun bukan blog guru atau dosen yang seriusnya minta ampun dan setiap tahun di jidatnya bertambah satu garis karena kebanyakan berpikir sambil mengernyitkan jidat.

Cukup ya basa-basinya.

Maksud dari judul "Koordinat (0,0)" adalah istilah bagi saya untuk yang namanya starting point. Jadi, pengertian lebih lanjutnya adalah, post ini menjadi semacam post awal, post pembukaan sebelum saya memulai blogging di blog saya yang baru ini. Walau sebetulnya, yaa, nggak baru-baru amat. Karena sebelumnya saya udah punya blog yang lumayan rame dengan puing-puing pikiran saya, tapi karena sudah terlalu lama sempat tidak aktif, begitu saya berniat kembali blogging, eh malah sudah hilang. Entah dihapus atau ada yang meretas blog lama saya. 

Curhat sedikit, saya memang sempat menjadi penulis blog yang aktif, tapi karena sempat sibuk gila-gilaan, saya langsung lupa begitu saja. Setelah sekian lama cukup penat dengan ini dan itu, akhirnya, semenjak 2 hari yang lalu, rasa kangen untuk blogging (walau iseng-iseng semata) sudah terlalu menggebu-gebu dan berhasil mendobrak dinding batu kepala saya. Yaaaaa, akhirnya saya turuti rasa kangen itu. Walaupun come-back saya ini tidak sesuai ekspektasi karena blog lama saya sudah hilang ditelan takdir, paling tidak saya masih bisa menulis juga toh di blog baru ini. Tidak ada salahnya memulai sesuatu yang baru. Lagipula, kalau dipikir-pikir, blog saya yang lama juga bukan blog terkenal ataupun blog dengan postingan yang jelas (maklum, saya memang kebanyakan becanda yang jayus di blog lama saya). Semoga saja, post-post yang akan saya post disini bisa menghibur atau bahkan bermanfaat bagi jiwa dan pikiran pembaca. Postingan yang akan saya buat pun akan bermacam-macam dari curhatan, cerita, berita, pengetahuan, sampai hal konyol yang tidak penting juga ada. Ya, maklum,  amatir.  

So, I guess this is a good new start for me. A victorious come-back. I think....nevermind. Let's do this.

(GONG SOUND FX)

Welcome to Arjen's Land of Solitude.