Setelah sekian lama aku berjalan, sudah tak terhitung berapa kali aku merogoh kantong celanaku, mengambil ponselku, lalu memeriksa ponselku itu sambil terus berjalan dan menunduk. Tidak terasa sudah hampir gelap. Aku yang kebanyakan menunduk ini sampai tidak sadar keadaan langit karena jarang mendongakkan kepala.
Hari sudah makin gelap. Walau lampu jalanan menyala, tetap terlalu gelap bagi mataku. Bahaya kalau aku banyak menunduk ketika berjalan di malam hari begini. Sebaiknya aku singkirkan dulu ponselku. Aku tidak mau celaka. Aku masih ingin bernafas, paling tidak sampai hari pertemuan kami.
"Hampir saja!" Ucapku dalam hati. Sebuah motor dengan seenaknya naik ke trotoar dan berusaha menyalipku. Dasar bajingan lalu lintas. Tidak terima macet, jatah pejalan kaki malah diembat. Setan. Jalang. Bajingan. Bandel sekali. Untung sejak tadi aku sudah inisiatif untuk tidak sering-sering menunduk untuk memeriksa ponselku, kalau tidak, mungkin aku sudah jadi daging bolong-bolong akibat ulah pengendara kampret itu.
Aku terus berjalan menuju arah yang tak pasti, entah apa pula yang aku tuju. Aku tetap berjalan melewati hiruk pikuk kota yang dihiasi lampu-lampu gedung, jalanan, dan kendaraan. Kini beda dengan beberapa jam sebelumnya. Aku lebih sering mendongakan kepala, berusaha mencari keberadaan bulan atau bintang. Membayangkan, jika dia pun sedang memandangi langit yang sama walau tanah berbeda. Ah, khayalan babu. Di perkotaan seperti ini sulit mengamati benda langit di malam hari. Aku hanya melihat puncak gedung-gedung. Cahaya benda langit kalah oleh lampu-lampu kota ini. Tunggu. Ada bintang! Iya! Cukup terang juga bintang itu! Apa itu Venus? Lah, kok bergerak cepat? Sudahlah, persetan dengan benda langit, itu cuma pesawat lewat.
Aku turunkan kembali derajat pandanganku karena kecewa terhadap langit perkotaan. Kepalaku mendadak puyeng. Pandanganku membaur kehitaman. Ya, tekanan darahku yang hipotensi ini sepertinya kambuh. Tidak lama kemudian pandanganku kembali normal. Aku langsung meraih sebatang rokok dan korek api dari kantong kemejaku. Sebatang rokok mungkin akan membuatku merasa lebih baik. Entah darimana aku mendapat logika semacam itu, tapi paling tidak ketika aku merokok aku akan lupa dengan keadaan tekanan darahku, dan sikap manja terhadap penyakitku akan segera sirna di hisapan pertama.
Aku terus berjalan menyusuri jalanan yang padat dan ramai sambil mengepulkan asap rokok. Hari sudah semakin malam. Tukang martabak dan abang gerobakan serta rumah makan tenda sudah mulai menjamur. Aroma makanan melayang-layang, terhirup hidungku yang kemudian mengirimkan sinyal kepada otakku, "aku lapar.".
Aku harus segera makan malam sebelum sakit perut dan menderita maag. Banyak aku dengar cerita teman-temanku yang kerabatnya meninggal dunia karena penyakit maag. Amit-amit. Aku tidak mau mati konyol apalagi sampai sempat dirawat di rumah sakit hingga menghamburkan uang banyak karena sesuatu yang konyol. Lagipula, aku memang sudah lapar dan rokok ini malah semakin mencekik perutku.
Tanpa sadar, ternyata aku sudah berjalan cukup jauh selama berjam-jam. Tidak heran kalau aku betul-betul lapar, bukan sekedar lapar mata atau tergoda aroma makanan. Aku memutuskan untuk segera mampir makan di tempat makan nasi uduk yang terletak dipinggir jalan. Tempat ini menggunakan teras suatu gedung yang sudah tutup. Terasnya cukup bersih, sehingga pengunjung bisa lesehan di atas karpet yang disediakan. Wah, aku baru ingat tempat makan nasi uduk ini adalah tempat makan legendaris yang sering diceritakan ibuku. Tempat ini sudah ada sejak zaman ibuku masih jadi remaja gaul yang suka nongkrong sana-sini. Memang, nasi uduk disini bisa menjadi begitu legendaris karena usianya sudah tua dan nasi uduknya memang lezat.
Usai makan, aku menyalakan sebatang rokok dan segera menghisapnya dengan tampang kekenyangan yang relatif mirip tampang orang sesudah orgasme. Sungguh nikmat bisa makan enak dan murah lalu menghisap satu dua batang rokok setelahnya. Inilah yang namanya surga manusiawi kecil-kecilan. Suatu kebahagiaan sederhana yang menjadi surga kecil manusia dan bisa menjadi lebih nikmat lagi jika dinikmati bersama orang-orang terdekat dan tersayang.
Pikiranku tiba-tiba melayang kepada dirinya. Kenikmatan kecilku tersentak seketika. Apa kabar dia? Apakah dia baik-baik saja? Aku segera merogoh kantong celanaku, mengambil ponselku, dan memeriksa ponselku sambil menunduk. Belum ada pesan apapun darinya. Sejak hari masih terang hingga aku sudah kenyang dan matahari sembunyi, belum ada kabar apapun darinya. Lalu, sekarang apa? Aku harus apa? Aku harus kemana? Teman-temanku sedang sibuk dan sulit dijangkau. Aku sendiri juga sudah kenyang. Aku tidak mau menghamburkan uang untuk nongkrong-nongkrong sendiri. Sebaiknya aku pulang.
Aku segera membayar bon santapan malamku itu kepada abang nasi uduk lalu beranjak dari tempat lesehan dan kembali berjalan sambil mengepulkan asap rokok. Aku berjalan pulang dengan rokok di tangan kiriku dan ponsel di tangan kananku. Siapa tau dia tiba-tiba mengirim pesan dan memberi kabar. Aku ingin segara membalasnya. Aku tidak ingin membuatnya lama menunggu. Paling tidak, aku berusaha untuk itu.
Pada akhirnya, segala hal yang aku lakukan dalam satu hari penuh adalah satu hal yang sama yaitu menunggunya, berusaha mengalihkan perhatianku darinya. Namun, nampaknya aku memang sudah sayang betul dengannya, sepadat apapun pikiranku, tak akan pernah luput perhatianku terhadap dirinya.
Aku harap dia baik-baik saja dan bahagia. Tidak bandel seperti pengendara yang aku temui beberapa jam lalu, dan turut menikmati surga manusiawi kecil-kecilan disana seperti diriku disini.
Aku pun terus berjalan dan berjalan, mengepulkan asap rokok sambil membawa pulang harapan dan kepercayaan bahwa dia baik-baik saja. Dia akan pulang.
- Arjen L. Melkior
No comments:
Post a Comment