Sunday 31 May 2015

Jingga dan Biru

Angin berayun seperti penari ballet
Lincah namun tampak lembut
Kami duduk berdua berdampingan
membiarkan angin yang berayun itu menari
berdesis melewati ruang dan celah tubuh kami

Biru bercampur jingga
jingga dicampur merah muda
Jingga terbaring lemas di atas biru lalu dilahap waktu yang kami ulur bersama
Semua bungkam menyaksikan perkawinan langit jingga dengan nyiur ombak biru yang bertautan Jingga dirayu biru
dan perlahan larut dalam pelukan biru

Mata dan mata tertuju pada indahnya jingga dan biru
tapi mataku malah mabur
Refleksi jingga dan biru pada matanya yang bersinar-sinar lebih menarik bagi mataku
Mata tersenyum dengan bayang-bayang biru dan jingga
Sepasang mata biasa bagi orang awam
tapi bagi yang beruntung ia akan melihat lukisan pemandangan jingga dan biru
di atas kanvas istimewa bersinar-sinar yang seakan tersenyum menyapa hati yang sepi

Nyiur angin menyapa helai rambutnya yang kemudian menari mengikuti irama elegi senja
Ritme ombak yang bertautan turut memanjakan setiap panca inderaku
Aku terlarut dalam keindahan alam dan manusia di sampingku
Tak ingin ku lepas pandanganku
Aku tak peduli jika dia menangkap mataku yang sedang terkagum-kagum memandang ke arahnya
Biar dia tahu dan tak lagi malu-malu
Kalaupun dia benar-benar menangkap wajah bodohku yang terkagum-kagum memandangnya, dan dia masih malu-malu,
senyum pemalu salah tingkah miliknya malah akan membuat aku yang batu ini jadi lumer
Dengan begitu dia seharusnya tidak malu lagi karena aku lebih memalukan

Matanya yang bersinar berlalu
gelap sudah menyelimuti kami berdua
Moga-moga kelak alam ini masih sama,
dan kami akan lagi melepas rindu pada hangat dan sejuk dalam jingga dan biru waktu senja menuju malam


-Arjen L. Melkior

Sepotong Roti

Keputusan hakim sudah bulat
Abang akan dikerangkeng beberapa bulan
Padahal abang hanya mencuri sepotong roti

Tapi tidak apa
Abang lebih bahagia di balik jeruji

Terima kasih bapak hakim
Di bui abang tidak kelaparan
Terima kasih bapak hakim
Di bui abang terlindung dari ganasnya langit
Terima kasih bapak hakim
Di bui abang lebih hidup

Terima kasih bapak hakim
Sudah membuat abang lebih bahagia
Terima kasih bapak hakim
Kini aku menjadi lebih bahagia juga
Tak kusangka kelaparan pada akhirnya dapat menghiburku

Ah, harum bunga warna-warni yang mereka lempar
Ah, semakin nyaman aku terbaring lemas disini

Terima kasih bapak hakim
Kini aku punya rumah untuk berlindung
Terima kasih bapak hakim
Kini aku tidak pernah kelaparan lagi
Terima kasih bapak hakim
Sudah memperbaiki nasibku dan abang
Kami tak bersama tapi nasib hampir sama
Abang berdiri dan aku terbaring
Abang hidup dan aku jadi tulang kering


-Arjen L. Melkior

Tuesday 26 May 2015

Di Balik Layar Bisu

Aku tidak mengerti mengapa aku begitu gugup. Semakin aku memikirkannya, kebisingan ibukota seakan perlahan bungkam, ditelan keresahan. Ini bukan pertama kalinya aku menemui dia. Tapi aku betul-betul gugup. Leherku seperti distrum oleh tegangan listrik rendah berkali-kali. Nafasku memberat, menyebabkan dadaku beberapa kali membusung.

Setiap langkah kakiku bagai goresan kuas yang terus memperjelas bayang-bayang dirinya dalam pikiranku. Melangkah, dan bayang dirinya makin jelas. Semakin aku melangkah, semakin jelas. Sangat nyata.

Astaga! Itu bukan bayang-bayang pikiranku. Itu benar-benar dia. Tanpa dirasa aku sudah sampai di tempat pertemuan kami. Aku harus mengurangi kebiasaan berjalan dengan pikiran setengah fokus.

Dia sedang duduk sendirian, terdiam, sambil memandang keluar jendela yang ada di samping kirinya. Aku segera berjalan menghampirinya lalu duduk di depannya. Dia agak terkejut dengan kemunculanku yang seperti setan di siang bolong. Nampaknya, saat aku masih berdiri dan tertegun tadi, dia belum melihatku.

Aku sangat gugup, apalagi begitu menatap wajahnya yang merona dan dangat jelas dengan bantuan langit cerah hari itu. Aku masih terdiam, sebab aku masih bercampur aduk gugup dan ngantuk. Dia juga terdiam. Mungkin juga karena mengantuk. Kami berdua sama-sama kurang tidur.

Kemarin aku membuat suatu kesalahan dan kami berdebat sampai pagi dini hari tadi. Sebuah perdebatan panjang yang menghabiskan banyak tenaga untuk menahan segala bentuk emosi. Perdebatan yang diakhiri dengan penerimaan permohonan maafku padanya. Aku tak bisa mengelak dari kenyataan bahwa aku sebenarnya gugup karena perasaan menyesal dan marah kepada diri sendiri yang bercampur aduk menjadi sedih karena telah membuat dirinya tersakiti dan menangis. Aku sangat gugup. Padahal dia sudah memaafkan aku dan sudi bertemu denganku. Seharusnya aku senang dan bersemangat. Tapi mulutku mendadak gagu, jemari kaku, jantung menggebu.

Aku masih diam sambil terus menatap wajah manisnya. Aku sering melihatnya dan bertemu, tapi aku selalu rindu. Bahkan kegugupan saja tidak bisa mengalahkan rinduku. Akupun terlihat seperti orang gila yang terus memandang wajahnya sambil terdiam, tangan berkeringat, tapi sesekali tak sanggup menahan senyum.

Dia tersenyum dan mulai bicara. Suara lembutnya bagai tangan halus yang segera mengelus dada, meredam gelisah, menggetarkan batin. Aku malah makin tak bisa berkata-kata. Tetap diam lantaran malu, gugup, dan tidak enak hati. Berusaha keras diam walau batinku sudah betul-betul bergetar.

Ya Tuhan, siapa sangka soal cinta mampu meraih sensor yang dapat meledakkan diriku. Genggam tanganku dan buat bicara, maka akan meluap-luaplah air mataku. Lumer hati batuku, banjir mata batinku.

-Arjen L. Melkior

Monday 25 May 2015

Di Balik Selimut

Sepasang mata memandang langit-langit. Tapi bukan langit-langit kamar, melainkan langit-langit selimut yang direntangkan seperti tenda dengan kaki ditekuk, telapak kaki segaris lurus menapak pada kasur. Diantara bising nafas mereka yang tertidur malam itu, bocah laki-laki itu terdiam di balik selimutnya. Moga-moga nafas tergesa-gesa bocah itu tidak terdengar oleh orang lain.

Tangan kurus yang ringkih perlahan meraih telepon genggam dan segera menyalakannya di dalam gelap tenda selimut. Dengan hati-hati bocah itu berusaha menghubungi manusia yang selalu ia rindukan, yang baru tadi pagi ia kecewakan.

Sungguh lugu dan bodoh bocah itu. Sudah dua kali dia bikin pujaan hatinya kecewa dan masih tidak mengerti juga. Padahal sangat mudah, cukup mendengar dan berusaha mengerti serta peduli. Tapi bocah itu kelewat bingung. Memang dasar lelaki sudah menjadi tabiatnya seperti itu. Terlalu mengandalkan logika, logika, dan logika. Padahal semasa titit masih berkulup, anak laki-laki paling cengeng dan manja, sangat penuh perasaan. Entah mengapa, begitu besar rata-rata jadi bajingan tengik.

Bocah laki-laki itu bajingannya semakin menjadi. Namun biar bajingan, resah yang bertubi-tubi menyelimuti. Ada sesuatu yang janggal. Ada sesuatu yang tidak pada tempatnya.

Di balik selimut tipisnya, terdengar nafas yang tak teratur. Bocah laki-laki itu menangis. Kini bagian dalam tenda jadi banjir bandang. Tangan kurus bocah itu jadi korban, digerogoti gigi-gigi tajam bocah yang berusaha menahan isak tangisan. Dia tidak ingin membangunkan yang lain. Siapa yang mengira ternyata bajingan tengik itu keok juga dihantam air mata perempuan. Iya, pujaan hatinya menangis, dan bocah lelaki itu langsung lumer tak berdaya, tak kuasa, rasanya seperti bunuh diri bagi bocah lelaki itu. Nyatanya lawan seorang bajingan tengik bukanlah kehidupan jalanan yang penuh hantaman fisik dari segala arah, lawan sebenernya adalah air mata perempuan, yang terlihat berkilauan dan indah saat butir demi butir mengalir, tapi cukup ganas untuk bikin bajingan tengik minta ampun.

Malam itu, di bawah perlindungan selimut tipisnya, bocah lelaki itu meledak-ledak sendiri. Tersesat dalam halusinasi. Bentangan selimut sesaat seperti layar proyektor planetarium tanpa gambar planet dan bintang, tapi film dari potongan memori bocah lelaki itu dengan kekasih hatinya. Banyak tawa dan bahagia, namun yang dulu pernah bocah itu lewatkan ialah disaat-saat dia tidak peduli atau peka terhadap keadaan. Barulah ia sadar betapa tololnya dia selama ini. Mengabaikan perasaan seseorang yang seharusnya paling dia perhatikan, seseorang yang sudah menanamkan harapannya.

Pada akhirnya, seorang bajingan tengik pun masih punya hati, walau sudah tidak berbentuk akibat benturan selama tumbuh jadi bajingan.

Ah, cinta, cinta, cinta. Begitulah cinta mati. Cinta sekali sampai mati-matian. Bajingan tengik pun kalah sama yang namanya cinta. Hanya cinta yang bisa bikin buaya puasa makan ayam. Sama seperti halnya ketika hanya cinta yang bisa membuat seorang bajingan tengik menangis, mohon ampun, gerung-gerung, mendadak ingat Tuhan, sampai peduli setan dengan ego dan gengsi.

Bocah lelaki itu berusaha untuk tetap santai dan tenang, tapi memang bangsat yang namanya perasaan ketika mengalir deras. Bocah lelaki itu tak kuasa dan malah salah tingkah. Sudah tau salah tingkah harusnya malu dan berhenti, bocah lelaki itu malah semakin gigih dan terseok-seok menguatkan diri sambil terus berusaha memperbaiki hati dari perempuan kesayangannya itu.

Ah, cinta, hati, dan perasaan. Ketiganya bagai kombinasi pelumas bagi roda gir pribadi-pribadi bajingan yang sudah lama berkarat. Lihatlah bocah lelaki itu, dirinya mendadak seperti baru dibanjiri pelumas, batinnya bergetar, salah tingkah berulang kali tapi masih belum menyerah juga, tidak rela melihat pujaan hatinya menderita, tidak rela membiarkan cintanya mati begitu saja.

Subuh sudah hampir tiba, langit gelap malam sudah membiru, dan bocah lelaki itu masih terjaga, dibawah selimutnya, masih berusaha.


-Arjen L. Melkior

Sunday 24 May 2015

Berlutut, Membujuk, Memohon


Tahukah kamu, bagaimana rasanya ketika terbangun di pagi hari
dan mengetahui bahwa dia menghilang begitu saja? 
Darah mengalir cepat menuju kepala
jantung mau jebol
nafas tak teratur

Otak sekian kali kuputar-putar sampai mual
mencoba mencari memori atas apa yang terjadi
Tapi sia-sia setiap sudut putaran otakku itu
Tidak tahu apa-apa
Tidak tahu apa yang terjadi
Darah mengalir cepat sampai ke otak 
jantung rontok hampir botak

Mandi keringat
mandi air mata
mandi darah 
Benci, benci, benci

Kehilangan dan tidak mengetahui apa-apa
Sepasang setan perusak otak pembuat hati kotor
Sepasang setan paling dibenci manusia

Entah aku yang kelewat bodoh
atau memang kamu lihai bersembunyi
bermain dengan waktu mengulur geram
mendorongku ke ujung tebing curam

Silakan kamu pacu detak jantungku seperti kuda judi
peras habis harapan dan tekadku
sita hampir seluruh waktuku
tusuk aku dengan lidah tajammu
silakan kamu bersikap tidak peduli
aku tidak masalah
Tapi jangan pernah paksa aku untuk berhenti peduli
sampai aku jadi makanan setan pun aku akan tetap peduli

Ah, sayangku,
penyejuk hati yang sepi
tak perlu kamu berkorban mati-matian
bukan darah, harta, atau nikmat

Pintaku tidak rumit
Hargai aku
Bicara padaku


- Arjen L. Melkior



- Arjen L. Melkior

Monday 4 May 2015

Listening to You

Here are my ears
Slave of the words
Trigger of the tears
Victim of your sword


Here are my ears
Made for listening
As you burst in tears
Every morning till late in the evening
Tell me your sorrow and your fears

Go on
Shower me with your burning arrows of anger
Don't hesitate
Bash me with the prisoner of your eyes
Stab me with your stories of joy with anyone else but me

I don't mind, wreck me even harder
Let this slavery run until the sun rises again
Go on, write your name with your sword of words on my heart,
through  my ears, my brain, down my vein, pumping me up with all your feels
Like a raid of compassion and truth,
Wreck me
Stab me
Bash me
Haunt me
Possess me
Stab me
Wreck me
Bash me
Hold me
Hold me
Hold me
Hold me

Love me


-Arjen L. Melkior


Saturday 2 May 2015

Ruang

I.

Aku adalah manusia
Dengan sekian ruang kosong di sekujur tubuhku
Sebut saja aku rumah
Bangunan dengan ruang-ruang kosong di dalamnya
Bangunan yang setiap ruangannya bisa jadi tempat istirahat
Iya, aku adalah rumah
Hangat tapi sepi
Terawat tapi kosong


II.

Apakah kamu tersesat?
Jangan takut, kamu tidak sendirian
Kenapa merengut?
Jangan cemberut begitu

Bicara

Biar ku dengar suaramu
Biar ku simak suka-dukamu

Bicara

Kenapa membatu?
Dingin?
Apa yang kamu risaukan?

Baiklah
Tidak apa kalau belum mau bicara


III.

Aku adalah sebuah rumah
Dengan ruang-ruang kosong di dalamnya
Silakan kamu singgah dan istirahat

Ruang-ruang disela jemariku
Biar diisi oleh jemarimu
Hangat mengalir dari ujung jari hingga tangan
Moga-moga ini jadi awal ketenangan

Silakan kamu isi ruang-ruang kosong di kedua lenganku
Biar aku dekap kamu
Tulang pipi beradu tulang rusuk
Wajah mengahadap langit
Tubuh dingin jadi hangat
Badan kaku jadi santai
Hati batu jadi luluh

Kenapa kamu menggeser kepalamu?
Dari ruang dada pindah ke ruang leher
Apa detak jantungku mengagetkanmu?
Maaf, aku....

*

Tidur
Dia sudah tertidur

Kepalanya masih betah
Hidung bangirnya menjajah
Nafas lembut bikin merinding
Jantung rontok
Pikiran terbang
Luluh
Melayang
Tidur

Ooh, kenyamanan


-Arjen L. Melkior