Monday 25 May 2015

Di Balik Selimut

Sepasang mata memandang langit-langit. Tapi bukan langit-langit kamar, melainkan langit-langit selimut yang direntangkan seperti tenda dengan kaki ditekuk, telapak kaki segaris lurus menapak pada kasur. Diantara bising nafas mereka yang tertidur malam itu, bocah laki-laki itu terdiam di balik selimutnya. Moga-moga nafas tergesa-gesa bocah itu tidak terdengar oleh orang lain.

Tangan kurus yang ringkih perlahan meraih telepon genggam dan segera menyalakannya di dalam gelap tenda selimut. Dengan hati-hati bocah itu berusaha menghubungi manusia yang selalu ia rindukan, yang baru tadi pagi ia kecewakan.

Sungguh lugu dan bodoh bocah itu. Sudah dua kali dia bikin pujaan hatinya kecewa dan masih tidak mengerti juga. Padahal sangat mudah, cukup mendengar dan berusaha mengerti serta peduli. Tapi bocah itu kelewat bingung. Memang dasar lelaki sudah menjadi tabiatnya seperti itu. Terlalu mengandalkan logika, logika, dan logika. Padahal semasa titit masih berkulup, anak laki-laki paling cengeng dan manja, sangat penuh perasaan. Entah mengapa, begitu besar rata-rata jadi bajingan tengik.

Bocah laki-laki itu bajingannya semakin menjadi. Namun biar bajingan, resah yang bertubi-tubi menyelimuti. Ada sesuatu yang janggal. Ada sesuatu yang tidak pada tempatnya.

Di balik selimut tipisnya, terdengar nafas yang tak teratur. Bocah laki-laki itu menangis. Kini bagian dalam tenda jadi banjir bandang. Tangan kurus bocah itu jadi korban, digerogoti gigi-gigi tajam bocah yang berusaha menahan isak tangisan. Dia tidak ingin membangunkan yang lain. Siapa yang mengira ternyata bajingan tengik itu keok juga dihantam air mata perempuan. Iya, pujaan hatinya menangis, dan bocah lelaki itu langsung lumer tak berdaya, tak kuasa, rasanya seperti bunuh diri bagi bocah lelaki itu. Nyatanya lawan seorang bajingan tengik bukanlah kehidupan jalanan yang penuh hantaman fisik dari segala arah, lawan sebenernya adalah air mata perempuan, yang terlihat berkilauan dan indah saat butir demi butir mengalir, tapi cukup ganas untuk bikin bajingan tengik minta ampun.

Malam itu, di bawah perlindungan selimut tipisnya, bocah lelaki itu meledak-ledak sendiri. Tersesat dalam halusinasi. Bentangan selimut sesaat seperti layar proyektor planetarium tanpa gambar planet dan bintang, tapi film dari potongan memori bocah lelaki itu dengan kekasih hatinya. Banyak tawa dan bahagia, namun yang dulu pernah bocah itu lewatkan ialah disaat-saat dia tidak peduli atau peka terhadap keadaan. Barulah ia sadar betapa tololnya dia selama ini. Mengabaikan perasaan seseorang yang seharusnya paling dia perhatikan, seseorang yang sudah menanamkan harapannya.

Pada akhirnya, seorang bajingan tengik pun masih punya hati, walau sudah tidak berbentuk akibat benturan selama tumbuh jadi bajingan.

Ah, cinta, cinta, cinta. Begitulah cinta mati. Cinta sekali sampai mati-matian. Bajingan tengik pun kalah sama yang namanya cinta. Hanya cinta yang bisa bikin buaya puasa makan ayam. Sama seperti halnya ketika hanya cinta yang bisa membuat seorang bajingan tengik menangis, mohon ampun, gerung-gerung, mendadak ingat Tuhan, sampai peduli setan dengan ego dan gengsi.

Bocah lelaki itu berusaha untuk tetap santai dan tenang, tapi memang bangsat yang namanya perasaan ketika mengalir deras. Bocah lelaki itu tak kuasa dan malah salah tingkah. Sudah tau salah tingkah harusnya malu dan berhenti, bocah lelaki itu malah semakin gigih dan terseok-seok menguatkan diri sambil terus berusaha memperbaiki hati dari perempuan kesayangannya itu.

Ah, cinta, hati, dan perasaan. Ketiganya bagai kombinasi pelumas bagi roda gir pribadi-pribadi bajingan yang sudah lama berkarat. Lihatlah bocah lelaki itu, dirinya mendadak seperti baru dibanjiri pelumas, batinnya bergetar, salah tingkah berulang kali tapi masih belum menyerah juga, tidak rela melihat pujaan hatinya menderita, tidak rela membiarkan cintanya mati begitu saja.

Subuh sudah hampir tiba, langit gelap malam sudah membiru, dan bocah lelaki itu masih terjaga, dibawah selimutnya, masih berusaha.


-Arjen L. Melkior

No comments:

Post a Comment