Tuesday 26 May 2015

Di Balik Layar Bisu

Aku tidak mengerti mengapa aku begitu gugup. Semakin aku memikirkannya, kebisingan ibukota seakan perlahan bungkam, ditelan keresahan. Ini bukan pertama kalinya aku menemui dia. Tapi aku betul-betul gugup. Leherku seperti distrum oleh tegangan listrik rendah berkali-kali. Nafasku memberat, menyebabkan dadaku beberapa kali membusung.

Setiap langkah kakiku bagai goresan kuas yang terus memperjelas bayang-bayang dirinya dalam pikiranku. Melangkah, dan bayang dirinya makin jelas. Semakin aku melangkah, semakin jelas. Sangat nyata.

Astaga! Itu bukan bayang-bayang pikiranku. Itu benar-benar dia. Tanpa dirasa aku sudah sampai di tempat pertemuan kami. Aku harus mengurangi kebiasaan berjalan dengan pikiran setengah fokus.

Dia sedang duduk sendirian, terdiam, sambil memandang keluar jendela yang ada di samping kirinya. Aku segera berjalan menghampirinya lalu duduk di depannya. Dia agak terkejut dengan kemunculanku yang seperti setan di siang bolong. Nampaknya, saat aku masih berdiri dan tertegun tadi, dia belum melihatku.

Aku sangat gugup, apalagi begitu menatap wajahnya yang merona dan dangat jelas dengan bantuan langit cerah hari itu. Aku masih terdiam, sebab aku masih bercampur aduk gugup dan ngantuk. Dia juga terdiam. Mungkin juga karena mengantuk. Kami berdua sama-sama kurang tidur.

Kemarin aku membuat suatu kesalahan dan kami berdebat sampai pagi dini hari tadi. Sebuah perdebatan panjang yang menghabiskan banyak tenaga untuk menahan segala bentuk emosi. Perdebatan yang diakhiri dengan penerimaan permohonan maafku padanya. Aku tak bisa mengelak dari kenyataan bahwa aku sebenarnya gugup karena perasaan menyesal dan marah kepada diri sendiri yang bercampur aduk menjadi sedih karena telah membuat dirinya tersakiti dan menangis. Aku sangat gugup. Padahal dia sudah memaafkan aku dan sudi bertemu denganku. Seharusnya aku senang dan bersemangat. Tapi mulutku mendadak gagu, jemari kaku, jantung menggebu.

Aku masih diam sambil terus menatap wajah manisnya. Aku sering melihatnya dan bertemu, tapi aku selalu rindu. Bahkan kegugupan saja tidak bisa mengalahkan rinduku. Akupun terlihat seperti orang gila yang terus memandang wajahnya sambil terdiam, tangan berkeringat, tapi sesekali tak sanggup menahan senyum.

Dia tersenyum dan mulai bicara. Suara lembutnya bagai tangan halus yang segera mengelus dada, meredam gelisah, menggetarkan batin. Aku malah makin tak bisa berkata-kata. Tetap diam lantaran malu, gugup, dan tidak enak hati. Berusaha keras diam walau batinku sudah betul-betul bergetar.

Ya Tuhan, siapa sangka soal cinta mampu meraih sensor yang dapat meledakkan diriku. Genggam tanganku dan buat bicara, maka akan meluap-luaplah air mataku. Lumer hati batuku, banjir mata batinku.

-Arjen L. Melkior

No comments:

Post a Comment