Thursday 30 April 2015

A Reply to A Fan Letter

Dear,
No Name

Thank you very much for the fan letter that you wrote for me few days ago. To be honest, this is my first time receiving a fan letter. I'm very glad that you have the urge to actually spare your time to write for me. I really appreciate it. The way you beautifully write such letter really flattered me. I should admit, it is very special. Never in my whole life I expect to receive anything that would turn out to be very special for me. For me, your fan letter is more than just adulations, it deserves better terms. Your letter deserves better title, for it is very sincere and beautifully written.

Somehow, each word in the letter gives warm vibe into my eyes, through my brain, and straight to my heart. I can feel your sincere self let your mind pour its beautiful thoughts into the sincere words of yours. As I read the last words of your letter, I just realized that I've been smiling like an idiot the whole time. I am that awkward guy who's having hard time hiding his happiness. I may seem to be very engaging from my words, but after all, I am still that awkward guy who simply writes.

I never thought that there would be someone out there who will patiently wait for me to publish my writings, read it all from end to end, and kindly feel each words of my writing carefully. What made me even happier is how you actually manage to understand my writings very well, which is a sign for me that I succeeded in spreading the message that I actually want people to receive and understand. It really is an incredible feeling to know someone actually has the willing to not only simply read, but also feel my writings. I get even happier to know that a person with a beautiful mind like you have the guts and courage to approach me through your letter. Yes, your eyes aren't broken, you do have a beautiful mind, I just knew it from the smooth flow of sentences in your letter.

How you analized me from my words of love, just gave me a definition about what kind of person I actually am. I always have difficulties in defining my true self, I would get an F for how bad I am in judging myself.   Just like what you said, I am a desperate lover. It is true, I guess. Your explanation about how I gently pour my heart into every writing really fits the category of a desperate lover. And I can't doubt that. Turns out I really am desperate when it comes to loving someone. I really have this great needs of sharing my love to the one that I think deserves it. I myself, is not even a professional writer, but when I start putting my heart into my writings, I can go crazy and spent the whole night just for a short poem. Yes, I am that awkward guy who is also a desperate lover. Either in a platonic or romantic way, you name it.

I still can't stop this overflowing feeling of happiness. Your letter is too lovely to be true. I feel like I want to print out your letter, make a lot of copy, so I can stick your letter to my books, to the walls of my room, keep it in my bag, fold a copy into small square so I can put it in my wallet. And everytime I feel blue, I'll just simply open my wallet, take your lovely letter out, read, and let the warm loving mind of yours hold me once again.

Here's a confession. Just like how you said that you fall in love with me by my words, I fall in love with you already since the first paragraph.

And I am more overflowed with feelings, the moment I know that behind that anonymous identity of yours, is you, my lover. After all, it's always been you.

Thank you, love. Thank you for all the time, the feelings, and your little surprises. Thank you.

Love,
Arjen Lubnan Melkior




P.S.: Still interested in the coffee date you offered me in the first paragraph of your letter? :)


Thursday 16 April 2015

Gulungan Rindu (II)

Aku terbangun dari tidur lelapku dan waktu yang ku lihat kemarin sedang berjalan, masih juga berjalan hingga kini. Waktu terus menerus berjalan memburu-buru diriku, seperti harimau lapar yang siap menerkam kapan saja.

Tak kenal lelah, tak pandang bulu; begitulah sikap waktu yang selalu saja mengejarku. Aku merasa seperti bagian dari sebuah rantai kejar-kejaran di mana aku menjadi orang paling apes dalam rantai itu karena diposisikan sebagai seorang yang mengejar sekaligus dikejar.

Aku adalah orang apes itu yang mengejar keinginan dan cita-cita sambil dikejar-kejar waktu.

Ah, kangen betul aku dengan dia. Aku ingin sekali segera ketemu dia. Ingin cepat-cepat menyelesaikan berbagai tanggung jawab agar bisa cepat-cepat menghampiri dia. Iya, aku harus bergegas, aku harus berlari, sebelum hari gelap aku harus segera menyelesaikan berbagai urusan tetek bengek. Jika tidak, aku akan keduluan jarum jam yang sudah lewat batas sore dan kehilangan kesempatan bercengkrama dengan dia.

Ya Tuhan, bagaimana aku bisa mempercepat urusan yang tak bisa diburu-buru? Kemampuanku belum sebanding untuk itu. Tapi waktu terus mengejarku, dan kepalaku bisa meletup-letup jika melewatkan kesempatan untuk bisa bertemu dia.
Untuk sesaat, segala tanggung jawab yang harus ku kerjakan membuat aku merasa seperti pelari maraton dengan batu-batu kali yang terikat pada kakiku. Pergerakan terhambat, waktu mengejar, terburu-buru, gelisah, tersandung.

Tapi aku tidak semurah itu! Persetan dengan batas kemampuan, ini justru bukan hambatan, tapi proses untuk melatihku melampaui batas. Ya, aku tidak semurah itu. Keinginanku untuk bertemu dengannya jauh lebih besar dari tembok hambatan yang menghalangiku.

Demi dia, aku rela gila-gilaan menjadi mendadak rajin yang tidak pugu agar selesai segala urusan. Demi dia, aku rela tak kenal lelah menerjang berbagai hambatan. Demi dia, aku mau lari lebih cepat, walau hasil tak selalu sama, perjuangan tidak akan sia-sia. Ketika langkah lari makin ringan dan kepala makin dingin, tanpa dinyana, aku sudah bertekuk lutut di sudut kerlingnya. Dan pada saat itulah aku akan segera melepas rindu, mendekap dirinya, seiring menyombong kepada waktu yang tak sempat menerkam dan tertinggal jauh.

***

Iya, sayang. Demi ketemu kamu, aku rela main kejar-kejaran. Walau kejar-kejaran kali ini tak semenyenangkan waktu aku kecil.

- Arjen L. Melkior


Sunday 12 April 2015

Gulungan Rindu (I)

Matanya yang bersinar-sinar itu selalu berhasil menangkap sukmaku. Ia selalu saja bisa menyuguhi aku pandangan hangatnya walau keringat sudah mengalir, kepala sudah puyeng, dan kata tiada lagi. Dia adalah satu dari sedikit orang di dunia yang di saat sumringah bukan hanya bibirnya yang tersenyum, tapi juga matanya.


Senyuman dari sepasang mata yang indah itu selalu ku rindukan. Tak rela aku rasanya bilamana ada hal yang mengganggu hingga membuat sirna senyuman dari sepasang mata miliknya. Akan ku lakukan segala upaya untuk menjaga kedua matanya agar tetap tersenyum. Apapun itu resikonya, dihadang mati pun aku akan tetap berusaha menerjang. Senyuman dari matanya begitu berharga, sebab itulah pertanda daripada kebahagiaan yang jujur dan bersih dari segala kekhawatiran. 

***


Ah, senyuman tulus nan indah dari kedua matanya seakan mengundang tubuh ini untuk mendekat dengan tubuhnya hingga terasa gaduh jantung kami berdua, berdegup dalam satu irama, mecipta elegi sunyi yang hanya kami bisa dengar. Alunan elegi itu seakan membawa raga kami makin dekat satu sama lain, hidung kami beradu, bibir mengalun dengan syahdu, menjajah kening hingga dagu. Perlahan kami bersentuhan dengan lembut, mata tertutup, tapi batin ini masih bisa merasakan bahwa di balik kelopaknya, sepasang mata indah itu masih tersenyum.


Ketika sunyi berlarut-larut dan matanya yang tersenyum itu makin dalam menatapku, aku ingin segera saja melarutkan diriku dan dirinya dalam sunyi. Biar kami saling sayang dalam sunyi, merasakan hangat dalam sunyi, tak ada yang mengganggu, hanya aku dan dia, berdua dalam sunyi. Hingga akhirnya aku salah tingkah dan bilang, 'aku sayang kamu'.



10 April 2014
-Arjen L. Melkior

Monday 6 April 2015

Bersamamu

Seperti seorang anak kecil yang baru ditinggal anak tetangga karena sudah disuruh pulang oleh orangtuanya, aku langsung menekuk bibir, melipat tangan, dan membuang muka. Seperti anak kecil yang tak bisa apa-apa ketika teman mainnya disuruh pulang, aku tidak berdaya untuk memaksamu tetap tinggal bersamaku lebih lama. Segigih apapun aku berupaya agar kau bisa tetap tinggal, tali sopan santun sudah mengikatku sehingga niatku untuk memaksakan kehendak sudah terhenti sebelum aku melangkah jauh.

Aku adalah anak kecil itu, yang bermuram murja saat teman kesayangannya tersenyum halus sambil melambaikan tangan,  mengucap "sampai jumpa". Padahal aku masih belum mau berpisah, masih belum selesai melepas rindu hari kemarin. Namun aku tak bisa buat apa-apa. Aku ini hanya anak kecil yang naif, perintah orangtua bukan lawanku. Aku hanya bisa berdiam diri, memandangi punggungmu yang perlahan menjauh dan hilang dari pandanganku.

Sama seperti anak kecil yang alergi dengan kalimat "tenang, masih ada hari esok", aku begitu tidak sabaran ingin bertemu kamu lagi, ingin menghabiskan waktu bersama, kalau perlu aku ingin hingga tidurpun  dahiku dengan dahimu lebih dekat dibanding dahiku dengan hidungku sendiri. Lalu kita akan menjadi guling bagi satu sama lain. Saling mengahangatkan tubuh dalam pelukan hingga matahari terbit dan membangunkan kita.

Aku sangat menikmati setiap detak jantung yang berdetak saat aku bersamamu. Lebih-lebih lagi saat kita saling bicara, tak terhitung lagi seberapa bahagianya aku bisa menghabiskan waktu denganmu walau hanya bicara. Saling pandang saja pun aku rela korbankan waktu untuk itu, asal aku melakukannya denganmu.

Sama seperti sekelompok anak kecil yang menjadi teman main sehari-hari, waktu kita untuk bisa bersama begitu terbatas. Kita seperti diburu bom waktu yang siap meledak jika kita sudah kelewatan. Tapi, aku terlalu berbahagia untuk memusingkan diri berpikir soal diriku yang diburu-buru waktu. Berapapun waktu aku punya, aku tak peduli, sebentar atau lama yang penting aku bisa menikmati saat-saat bersamamu. Tak perlu itu khawatir dan gelisah. Khawatir dan gelisah hanya akan membuat waktu terbuang sia-sia. Setiap detik bersamamu begitu berharga.

Andai waktu bisa dibeli, aku akan kerja keras banting tulang agar bisa membeli waktu yang banyak, dan kelak waktu yang berlimpah itu akan ku habiskan dan ku nikmati dengamu.

***

Oh, Tuhan, apakah ini caraMu mengajariku makna dari "waktu adalah uang" ?

Jika memang begitu, ini sungguh cara yang luar biasa gila memompa adrenalinku, namun di saat yang bersamaan aku juga menikmatinya.
Gila. Tidak heran orang-orang menyebutMu "Tuhan yang maha esa".

***

Aku sungguh-sungguh ingin bersamamu. Panas atau hujan, derita atau bahagia, apapun itu yang akan kita lewati bersama, aku tidak peduli, aku akan tetap bersamamu, menjagamu, menyayangimu, mencintaimu. Aku ada untukmu.

- Arjen L. Melkior

Sulit Sekali Menjadi Baik

Diserang api, balas air
Diserang peluru, balas kacang
Diserang pedang, balas padi
Diserang panah, balas roti
Ditampar kanan, kasih kiri
Disakiti, memaafkan

Buang dendam
Buang curiga
Buang iri dengki
Buang amarah
Buang kesal
Buang sedih

Berusaha
Mengasihi
Mencinta
Memaafkan
Bersabar
Bersyukur

Sulit sekali menjadi baik
Tapi apa baik itu selalu benar?
Aku juga tidak tahu

Jadilah manusia baik,
yang setiap hari tak putus berusaha walau iming-iming hasil yang akan diperoleh hanya bualan

Jadilah manusia baik,
yang dengan senang hati mengasihi walau untuk diri sendiri masih sulit

Jadilah manusia baik,
yang tetap gigih mencinta walau sudah tau derita itu pasti adanya

Jadilah manusia baik,
yang masih mau memaafkan pemimpinnya walau nasib rakyat makin melarat dan tanggung jawab tak kunjung tuntas

Jadilah manusia baik,
yang tetap bersabar walau harga diri sudah diinjak-injak para petinggi

Jadilah manusia baik,
yang tetap bersyukur walau hak dirampas oleh penguasa bermuka tebal tanpa dosa

Sulit sekali menjadi baik

Menjadi baik sungguh menyakitkan
Tapi apakah kebaikan tetap dianggap baik jika yang ada hanya hati perih dan kehancuran?

Mampus kalian dicabik bingung dan gelisah


- Arjen L. Melkior

Saturday 4 April 2015

Nama

Kangen juga rasanya untuk sedikit mencurahkan isi kepala yang berupa potongan-potongan memori. Pendek kata, curhat alias nyampah alias membeberkan beban memori dan emosionil (menyebalkan ya bukannya nulis emosional aja. Ini saya memang sengaja, sih).

Namun, kenyataannya lanjutan dari tulisan ini justru tidak nyambung sama sekali dengan isi paragraf pertama. Kalau kamu sudah pernah baca post pertama blog saya, kamu akan mengerti bahwa sikap jayus saya yang saya sebut-sebut itu sekarang sedang muncul. Agak bingung juga, sebetulnya saya ini sedang jayus atau canggung.

Walau tidak nyambung dengan paragraf pertama, tapi yang penting masih nyambung dengan judul.
Ya, betul. Saya mau bicara soal nama. Arti sebuah nama. Karena saya tidak tau arti nama orang lain, ya jadinya saya menjelaskan arti nama saya sendiri. Ya iyalah, masa namanya Syamsul yang saya jelasin di sini artinya. Saya sendiri juga gatau Syamsul siapa pula.

Sudah. Cukup sintingnya. Nanti seru sendiri malah kacau balau bisa bahas supermodel naik gajah terbang.

***

Banyak orang berkata bahwa nama itu adalah doa, harapan, dan cita-cita yang diperuntukkan atau malah dibebankan bagi sang pemilik nama.

Berikut ini adalah pemaparan dari doa-doa, cita-cita, dan harapan yang dibebankan kepada saya.

Nama lengkap saya terdiri dari 3 kata dengan arti dan asal-usul yang berbeda-beda yang akan saya bahas satu per satu.

Arjen Lubnan Melkior.

Arjen:
Nama yang berasal dari negeri kincir angin ini berarti cahaya putih. Dengan nama ini saya diharapkan agar bisa menjadi cahaya putih yang menuntun manusia melewati lorong lika-liku kehidupan, dengan cahayanya yang menyilaukan sebagai senjata yang membutakan musuh dan hal-hal buruk yang menjadi penghalang.

Lubnan:
Nama ini adalah sebuah nama yang diambil dari bahasa arab. Lubnan adalah bentuk arab dari nama negara Lebanon. Tidak, saya bukan orang Lebanon atau lahir di Lebanon. Tapi, dengan memiliki nama ini, saya diharapkan agar bisa menjadi seperti negeri Lebanon yang indah dan memiliki sejarah hebat yang bisa bermanfaat untuk manusia pelajari atau jadikan teladan. Dan seperti Lebanon pula, saya masih dimaklumi sebagai manusia yang juga punya cacat cela dalam kehidupannya, namun tak berhenti berjuang agar lebih baik demi harga diri dan martabat diri sendiri.

Melkior:
Atau biasa juga disebut 'Melchior' adalah sebuah nama Persia yang berarti raja. Nama ini juga ditemukan di dalam kitab Injil sebagai nama dari salah satu orang bijak yang menjenguk kelahiran dari Isa. Sesuai dengan arti dari nama ini saya diharapkan untuk dapat bersikap sebagai raja yang bijak untuk diri sendiri, seorang raja daripada perasaannya sendiri, seorang raja daripada emosinya sendiri, seorang raja daripada pikirannya sendiri, seorang raja yang bisa mengendalikan dirinya secara keseluruhan dengan bijak.

Itulah semua doa-doa, cita-cita, dan harapan yang dibebankan/diperuntukkan bagi saya. Cukup gila ya beban saya. Semoga nama ini akan menjadi doa agar saya betul-betul bisa menjadi pribadi yang baik.

Jadi, apa bebanmu?

- Arjen L. Melkior


Sajak Rindu

Aku tertidur, kamu terbangun
Kamu tertidur, aku terbangun
Aku rindu
Kamu masih tidur
Aku tunggu
Satu jam
Dua jam
Tiga jam
Kopi mana kopi

-Arjen L. Melkior

Wednesday 1 April 2015

Tango Dilema dan Derita (Babak 2)

Di antara barang-barang yang berserakan dan lantai kotor dengan ranjau tajam, aku berjalan menghampirinya. Mata pisau tajam yang menatap dadaku tak jadi penghalang bagiku. Kusingkirkan pisau berdarah itu dari tangannya yang tegang, tak peduli walau mungkin aku terancam untuk diserang. Aku tetap kepala batu dan mendekatinya dalam sunyi.

Dia mendesis dalam keperihan saat kusentuh tangan kasarnya yang penuh goresan dan luka. Sekali lagi ku sentuh tangannya itu dengan lembut, kubasuh dengan air dan doa. Dia masih menunduk, menyembunyikan wajahnya yang kasar berlumur darah dan keringat. "Lihat aku", ucapku padanya. Masih sambil membasuh kedua tangannya yang melemah, aku mencoba bicara padanya, walaupun ia masih belum mau melihat mataku. "Kenapa kamu melakukan ini?" Tanyaku padanya. Namun yang kudapat haanya kesunyian yang berlarut-larut.

Mungkin pertanyaanku terlalu blak-blakan dan dia sendiri sepertinya juga masih berusaha mencari ketenangan. Menyadari hal tersebut, aku segera mengeringkan tangannya, juga tanganku usai membasuh luka di kedua tangannya. Dengan sangat hati-hati, aku menyisir rambutnya yang berantakan dengan jemariku sambil perlahan sesekali aku mengelus kepalanya yang masih menunduk itu. Wajahnya yang pucat dan penuh torehan lama-lama terlihat jelas dibawah cahaya lampu kamar setelah helai demi helai rambut yang menutupi wajahnya kusingkirkan dengan jemariku.

Sungguh suatu pemandangan yang tidak pernah aku harapkan tapi harus aku hadapi. Hatiku bagai dikoyak, nafasku memberat, kantung air mataku memberat, berontak untuk mengalir. Bukannya aku kasihan atau iba, aku heran, bingung dan tak kuasa menahan air mata karena tak tau beban macam apa yang ia pendam dan tak bisa berbuat apa-apa. Sepenasaran apapun diriku, aku enggan bertanya, tak ingin pertanyaan-pertanyaanku malah makin menghantuinya dengan kepedihan.

Aku masih tidak tau perasaan apa yang ia pendam. Kesedihan apa yang selama ini ia tanggung sendiri? Rasa sakit yang seberat apa hingga ia melakukan semua ini pada dirinya? Aku tidak tau, mungkin tidak akan pernah tau. Aku penasaran, tapi tak berdaya.

Mungkin memang pertanyaan dan kata-kata mutiara bukanlah hal yang ia butuhkan. Dia hanya butuh pendengar dan kenyamanan. Paling tidak dengan begitu dia menjadi lebih tenang.

Maka, segera kubuang jauh-jauh serakah dan curiga seraya aku mengelus kepala hingga punggungnya, dan memeluknya dalam keheningan. Telinga siaga mendengar, mulut terkunci, hati merangkul, dan pikiran terbuka.

Mungkin aku memang tidak tau, tapi paling tidak aku ada untuknya. Aku bersedia menjadi rumah yang menjadi tempat ia mengistirahatkan dirinya dari segala penderitaan yang ia tanggung, dan jika Tuhan mengizinkan, biarlah aku mencabut segala derita itu darinya, buang jauh-jauh tanpa harapan akan kembali.

Tapi untuk saat ini, biarkan dia dalam pelukan badanku dan hatiku, dalam damai, kesunyian, dan kasih sayang.

- Arjen L. Melkior