Monday 6 July 2015

"Terima Kasih"

Saat-saat pelepasan sudah hampir selesai. Peti akan ditutup setelah pihak keluarga cukup puas melihat jenazah untuk yang terakhir kalinya, walau kita semua tahu tidak akan ada yang mencapai perasaan cukup puas saat melihat orang terkasih untuk yang terakhir kalinya. Dalam situasi apapun sifat manusia yang selalu ingin lebih tetap ada.

Para petugas sudah membawa tutup peti ke dalam ruangan tempat jenazah disemayamkan. "Sudah ya? Petinya sudah mau ditutup," begitulah kata seorang petugas sambil mengencangkan tangannya yang membopong tutup peti. Tiba-tiba saja sebelum petugas semakin dekat dengan peti, dia yang menangis sedari tadi langsung mendekat dengan peti. Dia memegang tangan dari jasad yang terbaring di dalam peti itu. Sambil memandangi jasad yang sudah tenang terlelap, dengan nafas payah yang patah-patah, dia berkata, "terima kasih. Terima kasih untuk semuanya. Terima kasih."

Hari itu adalah pertama kalinya aku mendengar dia mengucap terima kasih kepada jasad dingin yang dulunya hangat itu. Aku sedih. Aku sangat sedih mendengarnya. Air mata tidak lagi dapat ditahan. Akupun berlari keluar untuk menenangkan diri.

Aku sedih bukan karena merasa kehilangan, bukan juga karena kasihan kepadanya yang meninggal atau kepada mereka yang ditinggalkan. Aku sedih karena takut. Aku takut jika aku tidak sempat menyampaikan rasa terima kasihku kepada orang-orang yang aku cintai. Aku takut mereka keburu pergi, keburu mati. Tak lagi mendengar, tak lagi merasakan. Lalu aku akan menyesal dan sedih karena tidak bisa lagi berbuat apa-apa agar mereka mendengarku. Aku tidak ingin mengalami itu. Aku tidak ingin lagi melewatkan kesempatan untuk menyampaikan rasa terima kasihku.

Terima kasih, terima kasih, terima kasih. Tidak akan pernah aku lewatkan... Lagi.


-Arjen L. Melkior

Sunday 28 June 2015

Senja di Jakarta (Bagian 3)

"Masih pagi tapi rokokmu sudah mau habis." Katanya padaku sambil sedikit jinjit untuk melihat isi kantong bajuku. "Iya, aku menghabiskan 10 batang waktu masih di rumah. Nanti aku akan beli lagi di perjalanan ke rumah Bang Moses." Untung saja aku segera menyalakan rokokku, jika tidak, aku tak akan bisa bicara begitu lancar di hadapan wajah cantiknya, tak akan bisa berjalan di sampingnya tanpa gemetar atau tersandung. Aih, pelet macam mana yang kamu tekuni, Renjani?

Ya, Renjani namanya, perempuan yang pertama kali kulihat sebagai wanita yang sebenarnya selain ibuku. Langkah-langkahnya tegas dan anggun, tutur katanya selalu sopan, bahkan ketika kesalpun dia mampu mengendalikan emosinya lalu meramu amarahnya menjadi sindiran sopan yang menusuk. Sifat tegasnya diiringi dengan kepribadian yang menyenangkan, perilaku yang hangat, selera yang sangat bagus dalam segala hal, serta bakat yang membuat aku makin menyukainya.

"Maaf, aku agak terlambat." Berkat rokokku, kini aku sudah bisa bicara sambil menatap wajahnya. "Ah, santai saja. Kamu baru kali ini berangkat ke rumahku pakai sepeda. Jalan sekarang?" "Tentu."
Kami berdua berjalan ke rumah Bang moses yang tidak begitu jauh dari rumah Renjani. Mungkin hanya butuh waktu 10 menit untuk sampai ke sana dengan jalan kaki.

Walau perjalanan sangat sebentar, aku selalu menikmati pemandangan dan suasana jalan yang kami lewati. Pertokoan yang masih rapi dan sepi karena belum ramai pelanggan, anak-anak di taman, kendaraan-kendaraan yang masih bersih dari debu, dan musik keroncong yang mengudara dari radio milik warung 'Serba Ada'. Begitulah nama warung yang terletak sekitar 20 meter dari rumah Bang Moses. Bukan sekedar nama, tapi warung tersebut memang benar-benar serba ada.

"Jani," begitulah panggilanku untuk Renjani, "tunggu sebentar aku mau ke warung Serba Ada, aku harus beli.." "Sigaret Bentoel Biru. Iya, aku sudah tau. Cepat, sebentar lagi latihan sudah mulai." Setelah membeli rokok kesukaanku, kami segera berjalan cepat menuju rumah Bang Moses. Sesampainya di sana, kawan-kawan yang lain sedang menyiapkan alat musik mereka. Soesilo sedang menyetel senar ukulelenya sambil duduk di kursi rotan, sementara itu Roni sudah berdiri dengan bass besarnya yang ia namakan Juwita. Di sebelah Roni terlihat amir yang baru mengeluarkan biolanya dari kotak, sedangkan Othman sudah mengalunkan melodi gitar hawaii nya, menyender pada pilar teras, sembari menunggu yang lain bersiap. "Ah! Ini dia! Penyanyi kita, si pipi merah merona dari Menteng, dan.. Herman, si pengawal. Hahahaha!" Bang Moses menyambut kedatanganku dan Rinjani dengan bersemangat dan agak mengejek sambil memasang simbal drum.

"Nah, karena Anton tidak ada, aku akan menggantikannya main drum, dan posisi pianis kosong dulu sampai kita dapat kawan yang bisa main piano atau drum. Tempo kita bisa ngawur kalau tidak ada drumnya." Bang Moses adalah pemimpin sekaligus guru kelompok musik kami. Beliau adalah seorang musisi berbakat yang dulunya dipecat dari kelompok musik lamanya dan langsung mendirikan kelompok baru sendiri semenjak dipecat lima tahun lalu. Sejak awal didirikannya kelompok musik pimpinan Bang Moses, aku direkrut sebagai pemain ukulele. Aku masuk kelompok ini bersamaan dengan sahabatku Anton yang direkrut sebagai pemain drum. Setiap tiga kali seminggu aku dan kawan-kawan yang lain berkumpul di rumah Bang Moses untuk berlatih musik. 

"Baiklah, kita mulai langsung dari lagu jazz yang baru kita selsaikan partiturnya minggu lalu. Kamu sudah hafal liriknya, Rinjani?" Tanya Bang Moses kepada Renjani. Aku yang tadinya masih duduk santai segera menggapai ukulele yang sudah disiapkan Bang Moses dan ditaruh pada kursi rotan di sampingku. 

"Soal aku sudah hafal atau belum, mari buktikan sama-sama." Jawab Rinjani pada Bang Moses sambil tersenyum manis.


Luka dan derita
seperti aku dan kamu
tak terpisahkan atau tergantikan
tak akan goyah atau bimbang
selalu bersama  berdampingan
menerobos mereka yang mengajak perang

Luka dan derita
seperti aku dan kamu
kita sama-sama tahu
kita ditakdirkan untuk bersama
kita ditakdirkan untuk ada

Luka dan derita
seperti aku dan kamu
dunia tidak menginginkan kita
dunia terus memerangi kita


-Arjen L. Melkior




Friday 19 June 2015

Balok Es

Balok es
dingin dan keras
nampak kuat dan bersinar
terlalu dingin untuk disentuh
terlalu licin untuk digenggam

Balok es
pengundang sepi
Tangan ragu-ragu mendekat
takut tak bisa lepas
dan terluka

Balok es
penyejuk di kala geram
penenang di kala murka
tapi kaku tak berdaya
sulit berbuat apa-apa

Tapi tahukah kamu
balok es yang dingin dan keras
dulunya hangat dan cair?
Tahukah kamu
balok es yang nampak kuat dan bersinar
akan melemah dan tak bersinar saat bertemu hangat?

Balok es
dingin dan kaku
padahal dulu tidak begitu
dia pernah hangat dan mengalir
tenang dan ramah layaknya air

Tapi alam terus berputar
hingga datang waktu  di mana derajatnya direndahkan
Dia yang hangat dan mengalir,
membeku menjadi dingin dan kaku


***

Aku adalah manusia dengan darah, daging, dan tulang, tapi apakah sebutan balok es tidak lebih cocok untukku?





-Arjen L. Melkior

Tuesday 9 June 2015

Senja di Jakarta (Bagian 2)

Aku kenal rokok semenjak umurku masih 13 tahun. Rokok pertama yang aku coba adalah rokok kawung milik kakekku. Aku mencoba rokok bukan karena kehendakku sendiri, tapi kakekku yang menawarkan. Aku ingat waktu itu kakekku sedang berkunjung ke rumah saat hujan lebat mengguyur Jakarta. Hari itu, aku dimarahi habis-habisan oleh ayahku karena pulang terlambat dengan keadaan basah kuyup sehabis bermain di bawah derasnya hujan. Aku langsung gugup tak karuan mendengar suara ayahku yang meninggi saat membentak diriku. Wajahku bengong-bengong, badanku langsung kaku. Ayahku membentakku cukup lama, dari bajuku masih basah, mulai kering, sampai basah lagi karena berkeringat. Kakekku yang sejak awal hanya duduk diam menyadari sikapku yang aneh ketika gugup dan panik. Kakek langsung mengehentikan bentakan ayahku dan menarikku ke teras rumah.

"Kamu ini kurus, tapi kalau sudah mematung karena gugup, badanmu seberat meriam. Aku sudah lama memperhatikanmu, sejak kamu mulai bisa bicara, ketika ada yang mengusik batinmu, kamu langsung gugup, panik, dan tingkahmu jadi tidak sehat." Aku menyimak kata-kata kakekku walau badan masih kaku dan berkeringat. Tidak dinyana, kakek yang lebih sering diam ternyata punya perhatian yang besar untuk orang-orang di sekitarnya, tidak seperti anaknya yang sering marah-marah. "Sampai kapan kamu mau mematung begini?" Tanya kakek sambil meletakkan tangannya pada bagian kiri dadaku. "Bahaya. Jantungmu seperti mau jebol." Kakek mengambil dua lintingan rokok yang ada di saku bajunya, digigitnya satu linting dan lintingan yang satu lagi ia selipkan begitu saja di antara bibirku. Aku masih diam, agak kaget dan juga bingung. Kakek segera mengambil korek kayu yang berada di saku celananya lalu menyalakan sebatang korek. "Hisap perlahan rokokmu seperti minum air begitu ujungnya mulai terbakar. Pelan-pelan saja," katanya sambil membakar ujung rokokku. Aku mengikuti persis seperti apa yang kakekku suruh. Tiba-tiba leherku tercekik asap, aku langsung batuk-batuk tak karuan karena setelah menghisap asap rokok, aku benar-benar menahannya di tenggorokanku lalu ku telan semuanya seperti menelan nasi. Kakekku tertawa kecil sambil sambil mengepulkan asap rokok, lalu dengan wajah tanpa dosa kakekku berkata, "ah, aku lupa beri tahu, asapnya jangan ditelan begitu saja, itu bukan nasi, setelah ditarik, kamu keluarkan dari lubang mulut, kalau sudah pandai, kamu akan mampu mengeluarkan asap dari hidung." 
Entah instruksi kakek yang samar-samar atau aku yang kurang pandai mengandalkan logika. Aku coba ulangi instruksi dari kakek dan berhasil mengepulkan asap-asap putih dari mulutku seperti kakek. Setelah menghisap rokok beberapa kali, badanku tidak lagi kaku, keringat yang mengucur segera berhenti, dan urat wajahku merenggang. "Nah, lihat dirimu. Sudah tidak kaku. Sudah tenang. Aku akan memintakan izin kepada orangtuamu agar kamu boleh merokok. Paling tidak, sehari kamu dapat jatah dua batang. Begitu kamu lebih dewasa, jatahmu boleh di tambah sampai 14 batang sehari. Kalau sudah bisa cari uang sendiri, silakan kamu merokok sesuka hati seperti aku ini. Hahahahahaahah." Kata-kata kakekku betul-betul meragukan, dia seperti sedang bergurau. Akan tetapi, kakekku memang sakti, dia berhasil membujuk ayah dan ibuku untuk memperbolehkan aku merokok. 

Sejak saat itu, rokok selalu jadi obat penenangku di saat gugup dan panik. Karena merokok, aku bisa jadi lebih tenang dan percaya diri dalam menghadapi banyak hal. Dengan rokok, aku bisa menjadi pembicara yang baik dan cukup luwes dalam bergaul. Karena merokok pula, jalan pikiranku jadi lebih tenang sehingga aku bisa menuangkan ide-ide dalam kepalaku ke berbagai bentuk dengan lancar. 

Aku mulai jadi perokok aktif ketika usiaku 17 tahun. Rokok sudah menjadi kebutuhan sehari-hari yang harus selalu ada untuk mengatasi kegugupan dan kepanikanku. Walau rokok sangat efektif untuk mengatasi gugup dan panik, rokok tidak bisa menghilangkan bakat lahirku sebagai seorang pemalu yang agak pendiam. 

-Arjen L. Melkior

Thursday 4 June 2015

Senja di Jakarta (Bagian 1)

Dengan rantang makanan di kiri stang, aku mengayuh sepedaku secepat mungkin menuju rumahnya. Jarak dari Senen ke Menteng cukup jauh juga jika ditempuh dengan sepeda. Ini pertama kali aku datang ke rumahnya dengan sepeda. Biasanya aku dibonceng Anton dengan motor bapaknya, tapi semenjak Anton pindah ke Bandung minggu lalu aku tidak ada pilihan lain selain menggunakan sepeda Raleigh yang sudah umur ini. Aku harap sepeda tua ini tidak akan bikin aku celaka.

Aku terus mengayuh sepedaku melewati jalan raya yang ramai. Pagi itu udara cukup sejuk walau sinar matahari menyilaukan. Baguslah, aku jadi tidak berkeringat. Semoga ketika aku sampai di rumahnya, aku masih wangi sabun mandi. Tidak biasanya aku bersepeda dengan dandanan rapi dan wangi begini. Topi fedora putih, kemeja putih lengan panjang, celana pantalon abu-abu, gesper kulit kerbau, dan sepatu kulit hitam yang baru ku semir semalam. Aku merasa seperti anak kapten Belanda yang sedang bersepeda santai di kota. Tapi, rantang makanan gambar kembang yang aku bawa menjadi identitas pribumiku. Tidak apa, aku merasa cukup rupawan walau sambil bawa-bawa rantang.

Alunan musik keroncong dari pertokoan pinggir jalan membuat bersepeda jadi lebih menyenangkan. Aku bersepeda sambil bergumam mengikuti melodi musik keroncong yang bergema di jalanan. Tanpa terasa, aku sudah sampai di Menteng Raya. Gerbang rumahnya yang dihiasi bunga-bunga bougenville dan anggrek sudah terlihat oleh pandangan mataku. Entah mengapa, setiap aku hampir sampai di rumahnya, jantungku mendadak berdetak lebih kencang, tangan berkeringat, dan nafasku menjadi berat. Aku memang orang yang pemalu dan sering gugup, tapi masa' sudah hampir tiga tahun berteman, aku masih gugup setiap datang ke rumahnya.

Seperti biasa, aku akan membunyikan lonceng kerbau yang digantung di pagar rumahnya sampai Mbok Atun membukakan pagar dan mempersilakan aku masuk. 

"Eh, Mas Herman. Tumben naik sepeda. Biasanya naik motor sama Mas Anton. Nah, Mas Anton kemana? Kok sendiri?" Ujar Mbok Atun. Dari sekian banyak pembantu yang ada di rumah ini, Mbok Atun adalah pembantu yang paling aku ingat namanya. Aku mengingatnya bukan hanya karena dia yang selalu membukakan pintu, tapi juga karena kebawelannya dan kelucuannya setiap menggoda Anton. "Biasanya saya ke sini naik motor Anton, tapi dia sudah berangkat ke Bandung sejak minggu lalu. Jadi, karena sudah tidak ada tumpangan, saya tidak ada pilihan lain selain naik sepeda." Jawabku kepada Mbok Atun. Mbok Atun adalah janda yang sudah memasuki usia 50an, tapi seleranya adalah brondong berbadan kekar seperti Anton. "Yah, gak bisa mbok godain lagi Mas Antonnya. Ya sudah, itu sepedanya parkir di tempat biasa parkir motor saja ya, mas." Kata Mbok Atun kepadaku sambil berjalan kembali ke dalam rumah.

Aku segera memarkir sepedaku di tempat Anton biasa memarkir motornya. Saat sedang memarkir sepeda, aku menyadari kegugupanku sudah hilang semenjak percakapanku dengan Mbok Atun berlangsung. Walau Mbok Atun memang bawel, tapi kebawelan dan kelucuannya itulah yang menyelamatkanku dari perasaan gugup yang bisa bikin aku banjir keringat. 

"Herman?" Tiba-tiba suara lembutnya merambat dari balik punggungku, menyapaku, menyebut namaku. Aih, aku langsung jadi gugup lagi. Aku memutar balik badanku dan langsung dikejutkan oleh dirinya yang ternyata sejak tadi berdiri kurang dari satu meter di belakangku. Aku langsung mematung ketika berhadap-hadapan dengannya. Hidungnya yang bangir membuat membuat jarak kami seakan lebih dekat. Rambut hitamnya yang bergelombang membuat wajah cantiknya semakin menarik untuk dipandang, setelan blouse dan rok biru, serta sepatu hak coklat yang menghiasi kakinya nampak begitu cocok dan menjadi paduan yang indah untuk wanita seperti dia.

"Herman? Ada apa? Wajahmu terlihat kaget seperti habis melihat bedil penjajah." Ucapnya padaku dengan suara lembutnya. Masih dengan wajah kaget dan tubuh kaku, aku segera menyalakan rokok dan menjawabnya, "tidak, tidak ada apa-apa."

Aduuuuuuhh. 


-Arjen L. Melkior

Tuesday 2 June 2015

Surat Untuk Tuhan

Aku tidak tahu apakah Kau mengenalku, tapi ayah dan ibuku selalu bilang bahwa Tuhan selalu siaga dan tahu betul apa yang ada di benak setiap ciptaannya, dalam kata lain, tidak mungkin Tuhan tidak kenal dengan diriku. Ayah dan ibuku adalah orang-orang terdekat yang sangat aku percayai, tapi entah mengapa aku khawatir doaku yang setiap malam ku panjatkan padaMu kurang menarik perhatian, atau pengaduanku kurang pantas untuk Kau gubris. Namun, aku masih berharap, Kau betul-betul mengenalku dan mendengar jeritan jiwaku.

Sejak kecil, ayah dan ibuku adalah orangtua yang sangat menyayangiku. Mereka tak pernah lupa untuk mengajariku tentang segala persoalan hidup dan cara-cara melewatinya. Mereka juga merupakan orang-orang yang sangat taat dalam beribadah dan menjalankan perintahMu. Kedua orangtuaku adalah orang-orang yang aku kagumi. Segala ajaran agamaMu yang mereka tanamkan padaku sejak kecil, aku jalani sepenuh hati, tanpa pamrih, di saat bahagia maupun duka tak pernah aku lupa untuk mengingatMu, ya Tuhan. Rumah kami selalu dihiasi oleh suara pujian-pujian dan doa-doa yang tak pernah terputus, bahkan saat semua tertidur pujian-pujian dan doa-doa itu masih disuarakan dalam hati tiap orang-orang rumah yang tidur dalam tenang.

Setiap hari aku tidak pernah lupa untuk berdoa dan berbuat baik. Aku berdoa dengan tata cara yang sebaik-baiknya dan persis dengan apa yang sudah diajarkan orangtua dan guru-guru agamaku sejak kecil. Aku juga selalu beramal baik seperti nasihat orangtua dan guru-guru agamaku. Mereka bilang, amal yang baik akan melancarkan segala persoalan, meringankan beban, bahkan menghapus dosa. Segala ajaran dari agamaMu sudah menjadi pedoman hidup yang utama bagiku. Entah bagaimana aku bisa begitu yakin, tapi seiring berjalannya waktu aku semakin mempercayaiMu dan memujaMu. Segala hal yang aku lakukan dalam hidupku, aku lakukan dengan sepenuh hati karena aku percaya bahwa pada akhirnya hidup ini adalah pengabdian untukMu, ya Tuhan.

Setiap aku merasa gusar dan terpuruk, orangtuaku selalu mengingatkanku untuk menyebut namaMu, kata mereka dengan begitu hatiku akan menjadi lebih tenang. Di saat aku merasa tak berdaya dan butuh pertolongan, orangtuaku selalu mengajarkanku untuk segera mengingatMu, berdoa, memohon pertolongan kepadaMu, karena hanya Engkaulah maha penolong lagi maha menghendaki. Ketika Engkau berkehendak, maka terjadilah. 

Seumur hidupku, aku telah melewati berbagai cobaan dan kesulitan, dan seperti apa yang selama ini sudah diajarkan kepadaku, aku selalu berpaling kepadamu untuk mohon pertolongan dan ampunan. Kini, setelah bertahu-tahun hidup sebagai lelaki dewasa, akhirnya aku sampai kepada pergejolakan batin yang tidak bisa aku atasi. Aku menderita dan menyedihkan.

Aku tidak pernah punya maksud untuk menjadi pendosa, tapi ada sesuatu dalam diriku yang tidak bisa aku tolak. Sesuatu yang bertentangan dengan agamaMu. Sesuatu yang sangat tabu. Sesuatu yang memalukan bagi keluargaku. Aku sangat taat dalam menjalankan perintahMu, aku tidak pernah lupa beramal baik, aku tidak pernah sekalipun melewatkan waktu untuk beribadah, aku sangat menghormati kedua orangtuaku, kepada orang asing pun aku tetap hormat dan tak pernah punya niatan jahat. Akan tetapi, ada suatu kebutuhan dalam diriku yang bertentangan dengan agamaMu. Bukan sekedar kebutuhan, tapi aku merasa memang seharusnya begitu. Ada sesuatu yang tidak sesuai dan ingin ku benahi, tapi membenahinya merupakan dosa, bahkan memikirkannya saja sudah dosa. 

Ya Tuhan, apakah aku ini sebenarnya? 

Setiap malam aku menangis dalam setiap jeritan doaku padaMu. Doaku yang penuh tanya dan cita-cita yang tak bisa aku pendam. Aku ingin jadi perempuan. Aku adalah perempuan. Tapi, aku bingung, apakah aku sedang dipengaruhi setan? Akan tetapi, aku sudah merasa begini bahkan sebelum aku mengenal dunia. Ya Tuhan, aku tidak bermaksud mengkhianatiMu, aku hanya berusaha jujur. Bayang-bayang nerakaMu selalu menghantui, tapi aku tetap tak sudi melepas fakta bahwa aku sebenarnya adalah seorang perempuan. Namun, bukankah Engkau maha penolong dan maha menghendaki? Dan hanya Engkau yang paling pantas menjadi tempat berpaling di saat hati dilanda gundah gulana?

Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Aku percaya, Engkaulah penolongku yang maha menghendaki segalanya bahkan yang mustahil bagi manusia sekalipun. Aku percaya akan keberadaanMu. Aku yakin pengabdianku selama ini untukMu bukanlah wacana semata. Oh Tuhan, tolong aku.

Aku menjerit, menangis, berdoa, memohon kepadamu, jadikan aku perempuan yang seutuhnya, dan jika memang aku lelaki, tolong hentikan cobaan ini, aku sudah tidak tahan lagi. Aku mengerti permohonanku sangat tidak masuk akal, permohonanku bertentangan dengan takdir lahirku. Tapi bukankah Engkau yang maha menghendaki? Ketika Engkau berkehendak maka terjadilah, begitu kan? Aku sangat bingung, apakah aku berdosa untuk memohon hal yang sedemikian rupa kepadaMu? Tapi aku tidak tahu lagi harus berlari kemana, di dunia ini, yang aku tahu maha menghendaki segala-galanya hanyalah Engkau. Tolong aku, ya Tuhan.

Ya Tuhan, Engkaulah yang maha pengasih lagi maha penyayang, Engkaulah yang maha menolong dan maha menghendaki. Ya Tuhanku yang maha menghendaki segala-galanya, kabulkanlah permohonanku. Aamiin.


Tertanda,
Waria pasar ikan


-Arjen L. Melkior

Monday 1 June 2015

"Kenapa kamu bilang begitu?"

Kepalanya yang berat tersandar pada pundakku. Aku berusaha menatap wajahnya, tapi dia selalu berpaling dan langsung membenamkan wajah lembutnya di bawah leherku. 

"Kenapa kamu bilang begitu?" Katanya sambil masih membenamkan wajahnya di bawah leherku. Aku terdiam sejenak, masih terlena dalam sentuhan lembut wajah hangatnya yang beradu dengan leherku yang dingin. Entah mengapa, badanku selalu dingin seperti drakula, sementara badannya selalu hangat seperti manusia yang sedang demam. Tapi perbedaan itulah yang sangat kami nikmati ketika bersama. Aku yang dingin menikmati kehangatannya, dan dia yang hangat menikmati sejuk tubuhku.

"Apa kamu tertidur?" Tanya dirinya padaku, sambil masih membenamkam wajahnya dibawah leherku. Aku diam terlalu lama, tenggelam dalam suasana, dan hampir lupa dengan pertanyaannya. "Belum, aku belum tidur," jawabku. Kemudian dia mengulang lagi pertanyaannya. "Kenapa kamu bilang begitu?"

Aku bingung harus menjawab apa, sebab cara dia bertanya sambil membenamkan wajahnya dibawah leherku, sangat manis apalagi dengan suaranya yang kecil dan malu-malu. Aku tersenyum dan tertawa kecil sampai akhirnya dia menggenggam bajuku dengan kuat karena gemas pertanyaannya  belum terjawab. "Baiklah akan kujawab sekarang." Ucapku padanya.

Malu-malunya hilang sejenak, dia tidak lagi memalingkan wajahny. Kini dia terlihat antusias menatapku, menunggu aku segera menjawab pertanyaannya. Sambil memandang langit-langit ruang, aku berkata dengan tenang, "aku bilang begitu, ya karena begitulah adanya. Aku sayang kamu. Bukan kamu yang lain, bukan kamu yang anak dari bapak-bapak atau ibu-ibu lain, pokoknya ka..."

"Aku juga menyayangimu."
Tiba-tiba dia menyambar. Jantung berdebar. Dia memejamkan mata karena malu, tersenyum, lalu kembali membenamkan wajahnya di bawah leherku. Aku masih tercengang, berusaha tenang, lalu memeluknya lebih erat lagi.


- Arjen L. Melkior

Sunday 31 May 2015

Jingga dan Biru

Angin berayun seperti penari ballet
Lincah namun tampak lembut
Kami duduk berdua berdampingan
membiarkan angin yang berayun itu menari
berdesis melewati ruang dan celah tubuh kami

Biru bercampur jingga
jingga dicampur merah muda
Jingga terbaring lemas di atas biru lalu dilahap waktu yang kami ulur bersama
Semua bungkam menyaksikan perkawinan langit jingga dengan nyiur ombak biru yang bertautan Jingga dirayu biru
dan perlahan larut dalam pelukan biru

Mata dan mata tertuju pada indahnya jingga dan biru
tapi mataku malah mabur
Refleksi jingga dan biru pada matanya yang bersinar-sinar lebih menarik bagi mataku
Mata tersenyum dengan bayang-bayang biru dan jingga
Sepasang mata biasa bagi orang awam
tapi bagi yang beruntung ia akan melihat lukisan pemandangan jingga dan biru
di atas kanvas istimewa bersinar-sinar yang seakan tersenyum menyapa hati yang sepi

Nyiur angin menyapa helai rambutnya yang kemudian menari mengikuti irama elegi senja
Ritme ombak yang bertautan turut memanjakan setiap panca inderaku
Aku terlarut dalam keindahan alam dan manusia di sampingku
Tak ingin ku lepas pandanganku
Aku tak peduli jika dia menangkap mataku yang sedang terkagum-kagum memandang ke arahnya
Biar dia tahu dan tak lagi malu-malu
Kalaupun dia benar-benar menangkap wajah bodohku yang terkagum-kagum memandangnya, dan dia masih malu-malu,
senyum pemalu salah tingkah miliknya malah akan membuat aku yang batu ini jadi lumer
Dengan begitu dia seharusnya tidak malu lagi karena aku lebih memalukan

Matanya yang bersinar berlalu
gelap sudah menyelimuti kami berdua
Moga-moga kelak alam ini masih sama,
dan kami akan lagi melepas rindu pada hangat dan sejuk dalam jingga dan biru waktu senja menuju malam


-Arjen L. Melkior

Sepotong Roti

Keputusan hakim sudah bulat
Abang akan dikerangkeng beberapa bulan
Padahal abang hanya mencuri sepotong roti

Tapi tidak apa
Abang lebih bahagia di balik jeruji

Terima kasih bapak hakim
Di bui abang tidak kelaparan
Terima kasih bapak hakim
Di bui abang terlindung dari ganasnya langit
Terima kasih bapak hakim
Di bui abang lebih hidup

Terima kasih bapak hakim
Sudah membuat abang lebih bahagia
Terima kasih bapak hakim
Kini aku menjadi lebih bahagia juga
Tak kusangka kelaparan pada akhirnya dapat menghiburku

Ah, harum bunga warna-warni yang mereka lempar
Ah, semakin nyaman aku terbaring lemas disini

Terima kasih bapak hakim
Kini aku punya rumah untuk berlindung
Terima kasih bapak hakim
Kini aku tidak pernah kelaparan lagi
Terima kasih bapak hakim
Sudah memperbaiki nasibku dan abang
Kami tak bersama tapi nasib hampir sama
Abang berdiri dan aku terbaring
Abang hidup dan aku jadi tulang kering


-Arjen L. Melkior

Tuesday 26 May 2015

Di Balik Layar Bisu

Aku tidak mengerti mengapa aku begitu gugup. Semakin aku memikirkannya, kebisingan ibukota seakan perlahan bungkam, ditelan keresahan. Ini bukan pertama kalinya aku menemui dia. Tapi aku betul-betul gugup. Leherku seperti distrum oleh tegangan listrik rendah berkali-kali. Nafasku memberat, menyebabkan dadaku beberapa kali membusung.

Setiap langkah kakiku bagai goresan kuas yang terus memperjelas bayang-bayang dirinya dalam pikiranku. Melangkah, dan bayang dirinya makin jelas. Semakin aku melangkah, semakin jelas. Sangat nyata.

Astaga! Itu bukan bayang-bayang pikiranku. Itu benar-benar dia. Tanpa dirasa aku sudah sampai di tempat pertemuan kami. Aku harus mengurangi kebiasaan berjalan dengan pikiran setengah fokus.

Dia sedang duduk sendirian, terdiam, sambil memandang keluar jendela yang ada di samping kirinya. Aku segera berjalan menghampirinya lalu duduk di depannya. Dia agak terkejut dengan kemunculanku yang seperti setan di siang bolong. Nampaknya, saat aku masih berdiri dan tertegun tadi, dia belum melihatku.

Aku sangat gugup, apalagi begitu menatap wajahnya yang merona dan dangat jelas dengan bantuan langit cerah hari itu. Aku masih terdiam, sebab aku masih bercampur aduk gugup dan ngantuk. Dia juga terdiam. Mungkin juga karena mengantuk. Kami berdua sama-sama kurang tidur.

Kemarin aku membuat suatu kesalahan dan kami berdebat sampai pagi dini hari tadi. Sebuah perdebatan panjang yang menghabiskan banyak tenaga untuk menahan segala bentuk emosi. Perdebatan yang diakhiri dengan penerimaan permohonan maafku padanya. Aku tak bisa mengelak dari kenyataan bahwa aku sebenarnya gugup karena perasaan menyesal dan marah kepada diri sendiri yang bercampur aduk menjadi sedih karena telah membuat dirinya tersakiti dan menangis. Aku sangat gugup. Padahal dia sudah memaafkan aku dan sudi bertemu denganku. Seharusnya aku senang dan bersemangat. Tapi mulutku mendadak gagu, jemari kaku, jantung menggebu.

Aku masih diam sambil terus menatap wajah manisnya. Aku sering melihatnya dan bertemu, tapi aku selalu rindu. Bahkan kegugupan saja tidak bisa mengalahkan rinduku. Akupun terlihat seperti orang gila yang terus memandang wajahnya sambil terdiam, tangan berkeringat, tapi sesekali tak sanggup menahan senyum.

Dia tersenyum dan mulai bicara. Suara lembutnya bagai tangan halus yang segera mengelus dada, meredam gelisah, menggetarkan batin. Aku malah makin tak bisa berkata-kata. Tetap diam lantaran malu, gugup, dan tidak enak hati. Berusaha keras diam walau batinku sudah betul-betul bergetar.

Ya Tuhan, siapa sangka soal cinta mampu meraih sensor yang dapat meledakkan diriku. Genggam tanganku dan buat bicara, maka akan meluap-luaplah air mataku. Lumer hati batuku, banjir mata batinku.

-Arjen L. Melkior

Monday 25 May 2015

Di Balik Selimut

Sepasang mata memandang langit-langit. Tapi bukan langit-langit kamar, melainkan langit-langit selimut yang direntangkan seperti tenda dengan kaki ditekuk, telapak kaki segaris lurus menapak pada kasur. Diantara bising nafas mereka yang tertidur malam itu, bocah laki-laki itu terdiam di balik selimutnya. Moga-moga nafas tergesa-gesa bocah itu tidak terdengar oleh orang lain.

Tangan kurus yang ringkih perlahan meraih telepon genggam dan segera menyalakannya di dalam gelap tenda selimut. Dengan hati-hati bocah itu berusaha menghubungi manusia yang selalu ia rindukan, yang baru tadi pagi ia kecewakan.

Sungguh lugu dan bodoh bocah itu. Sudah dua kali dia bikin pujaan hatinya kecewa dan masih tidak mengerti juga. Padahal sangat mudah, cukup mendengar dan berusaha mengerti serta peduli. Tapi bocah itu kelewat bingung. Memang dasar lelaki sudah menjadi tabiatnya seperti itu. Terlalu mengandalkan logika, logika, dan logika. Padahal semasa titit masih berkulup, anak laki-laki paling cengeng dan manja, sangat penuh perasaan. Entah mengapa, begitu besar rata-rata jadi bajingan tengik.

Bocah laki-laki itu bajingannya semakin menjadi. Namun biar bajingan, resah yang bertubi-tubi menyelimuti. Ada sesuatu yang janggal. Ada sesuatu yang tidak pada tempatnya.

Di balik selimut tipisnya, terdengar nafas yang tak teratur. Bocah laki-laki itu menangis. Kini bagian dalam tenda jadi banjir bandang. Tangan kurus bocah itu jadi korban, digerogoti gigi-gigi tajam bocah yang berusaha menahan isak tangisan. Dia tidak ingin membangunkan yang lain. Siapa yang mengira ternyata bajingan tengik itu keok juga dihantam air mata perempuan. Iya, pujaan hatinya menangis, dan bocah lelaki itu langsung lumer tak berdaya, tak kuasa, rasanya seperti bunuh diri bagi bocah lelaki itu. Nyatanya lawan seorang bajingan tengik bukanlah kehidupan jalanan yang penuh hantaman fisik dari segala arah, lawan sebenernya adalah air mata perempuan, yang terlihat berkilauan dan indah saat butir demi butir mengalir, tapi cukup ganas untuk bikin bajingan tengik minta ampun.

Malam itu, di bawah perlindungan selimut tipisnya, bocah lelaki itu meledak-ledak sendiri. Tersesat dalam halusinasi. Bentangan selimut sesaat seperti layar proyektor planetarium tanpa gambar planet dan bintang, tapi film dari potongan memori bocah lelaki itu dengan kekasih hatinya. Banyak tawa dan bahagia, namun yang dulu pernah bocah itu lewatkan ialah disaat-saat dia tidak peduli atau peka terhadap keadaan. Barulah ia sadar betapa tololnya dia selama ini. Mengabaikan perasaan seseorang yang seharusnya paling dia perhatikan, seseorang yang sudah menanamkan harapannya.

Pada akhirnya, seorang bajingan tengik pun masih punya hati, walau sudah tidak berbentuk akibat benturan selama tumbuh jadi bajingan.

Ah, cinta, cinta, cinta. Begitulah cinta mati. Cinta sekali sampai mati-matian. Bajingan tengik pun kalah sama yang namanya cinta. Hanya cinta yang bisa bikin buaya puasa makan ayam. Sama seperti halnya ketika hanya cinta yang bisa membuat seorang bajingan tengik menangis, mohon ampun, gerung-gerung, mendadak ingat Tuhan, sampai peduli setan dengan ego dan gengsi.

Bocah lelaki itu berusaha untuk tetap santai dan tenang, tapi memang bangsat yang namanya perasaan ketika mengalir deras. Bocah lelaki itu tak kuasa dan malah salah tingkah. Sudah tau salah tingkah harusnya malu dan berhenti, bocah lelaki itu malah semakin gigih dan terseok-seok menguatkan diri sambil terus berusaha memperbaiki hati dari perempuan kesayangannya itu.

Ah, cinta, hati, dan perasaan. Ketiganya bagai kombinasi pelumas bagi roda gir pribadi-pribadi bajingan yang sudah lama berkarat. Lihatlah bocah lelaki itu, dirinya mendadak seperti baru dibanjiri pelumas, batinnya bergetar, salah tingkah berulang kali tapi masih belum menyerah juga, tidak rela melihat pujaan hatinya menderita, tidak rela membiarkan cintanya mati begitu saja.

Subuh sudah hampir tiba, langit gelap malam sudah membiru, dan bocah lelaki itu masih terjaga, dibawah selimutnya, masih berusaha.


-Arjen L. Melkior

Sunday 24 May 2015

Berlutut, Membujuk, Memohon


Tahukah kamu, bagaimana rasanya ketika terbangun di pagi hari
dan mengetahui bahwa dia menghilang begitu saja? 
Darah mengalir cepat menuju kepala
jantung mau jebol
nafas tak teratur

Otak sekian kali kuputar-putar sampai mual
mencoba mencari memori atas apa yang terjadi
Tapi sia-sia setiap sudut putaran otakku itu
Tidak tahu apa-apa
Tidak tahu apa yang terjadi
Darah mengalir cepat sampai ke otak 
jantung rontok hampir botak

Mandi keringat
mandi air mata
mandi darah 
Benci, benci, benci

Kehilangan dan tidak mengetahui apa-apa
Sepasang setan perusak otak pembuat hati kotor
Sepasang setan paling dibenci manusia

Entah aku yang kelewat bodoh
atau memang kamu lihai bersembunyi
bermain dengan waktu mengulur geram
mendorongku ke ujung tebing curam

Silakan kamu pacu detak jantungku seperti kuda judi
peras habis harapan dan tekadku
sita hampir seluruh waktuku
tusuk aku dengan lidah tajammu
silakan kamu bersikap tidak peduli
aku tidak masalah
Tapi jangan pernah paksa aku untuk berhenti peduli
sampai aku jadi makanan setan pun aku akan tetap peduli

Ah, sayangku,
penyejuk hati yang sepi
tak perlu kamu berkorban mati-matian
bukan darah, harta, atau nikmat

Pintaku tidak rumit
Hargai aku
Bicara padaku


- Arjen L. Melkior



- Arjen L. Melkior

Monday 4 May 2015

Listening to You

Here are my ears
Slave of the words
Trigger of the tears
Victim of your sword


Here are my ears
Made for listening
As you burst in tears
Every morning till late in the evening
Tell me your sorrow and your fears

Go on
Shower me with your burning arrows of anger
Don't hesitate
Bash me with the prisoner of your eyes
Stab me with your stories of joy with anyone else but me

I don't mind, wreck me even harder
Let this slavery run until the sun rises again
Go on, write your name with your sword of words on my heart,
through  my ears, my brain, down my vein, pumping me up with all your feels
Like a raid of compassion and truth,
Wreck me
Stab me
Bash me
Haunt me
Possess me
Stab me
Wreck me
Bash me
Hold me
Hold me
Hold me
Hold me

Love me


-Arjen L. Melkior


Saturday 2 May 2015

Ruang

I.

Aku adalah manusia
Dengan sekian ruang kosong di sekujur tubuhku
Sebut saja aku rumah
Bangunan dengan ruang-ruang kosong di dalamnya
Bangunan yang setiap ruangannya bisa jadi tempat istirahat
Iya, aku adalah rumah
Hangat tapi sepi
Terawat tapi kosong


II.

Apakah kamu tersesat?
Jangan takut, kamu tidak sendirian
Kenapa merengut?
Jangan cemberut begitu

Bicara

Biar ku dengar suaramu
Biar ku simak suka-dukamu

Bicara

Kenapa membatu?
Dingin?
Apa yang kamu risaukan?

Baiklah
Tidak apa kalau belum mau bicara


III.

Aku adalah sebuah rumah
Dengan ruang-ruang kosong di dalamnya
Silakan kamu singgah dan istirahat

Ruang-ruang disela jemariku
Biar diisi oleh jemarimu
Hangat mengalir dari ujung jari hingga tangan
Moga-moga ini jadi awal ketenangan

Silakan kamu isi ruang-ruang kosong di kedua lenganku
Biar aku dekap kamu
Tulang pipi beradu tulang rusuk
Wajah mengahadap langit
Tubuh dingin jadi hangat
Badan kaku jadi santai
Hati batu jadi luluh

Kenapa kamu menggeser kepalamu?
Dari ruang dada pindah ke ruang leher
Apa detak jantungku mengagetkanmu?
Maaf, aku....

*

Tidur
Dia sudah tertidur

Kepalanya masih betah
Hidung bangirnya menjajah
Nafas lembut bikin merinding
Jantung rontok
Pikiran terbang
Luluh
Melayang
Tidur

Ooh, kenyamanan


-Arjen L. Melkior








Thursday 30 April 2015

A Reply to A Fan Letter

Dear,
No Name

Thank you very much for the fan letter that you wrote for me few days ago. To be honest, this is my first time receiving a fan letter. I'm very glad that you have the urge to actually spare your time to write for me. I really appreciate it. The way you beautifully write such letter really flattered me. I should admit, it is very special. Never in my whole life I expect to receive anything that would turn out to be very special for me. For me, your fan letter is more than just adulations, it deserves better terms. Your letter deserves better title, for it is very sincere and beautifully written.

Somehow, each word in the letter gives warm vibe into my eyes, through my brain, and straight to my heart. I can feel your sincere self let your mind pour its beautiful thoughts into the sincere words of yours. As I read the last words of your letter, I just realized that I've been smiling like an idiot the whole time. I am that awkward guy who's having hard time hiding his happiness. I may seem to be very engaging from my words, but after all, I am still that awkward guy who simply writes.

I never thought that there would be someone out there who will patiently wait for me to publish my writings, read it all from end to end, and kindly feel each words of my writing carefully. What made me even happier is how you actually manage to understand my writings very well, which is a sign for me that I succeeded in spreading the message that I actually want people to receive and understand. It really is an incredible feeling to know someone actually has the willing to not only simply read, but also feel my writings. I get even happier to know that a person with a beautiful mind like you have the guts and courage to approach me through your letter. Yes, your eyes aren't broken, you do have a beautiful mind, I just knew it from the smooth flow of sentences in your letter.

How you analized me from my words of love, just gave me a definition about what kind of person I actually am. I always have difficulties in defining my true self, I would get an F for how bad I am in judging myself.   Just like what you said, I am a desperate lover. It is true, I guess. Your explanation about how I gently pour my heart into every writing really fits the category of a desperate lover. And I can't doubt that. Turns out I really am desperate when it comes to loving someone. I really have this great needs of sharing my love to the one that I think deserves it. I myself, is not even a professional writer, but when I start putting my heart into my writings, I can go crazy and spent the whole night just for a short poem. Yes, I am that awkward guy who is also a desperate lover. Either in a platonic or romantic way, you name it.

I still can't stop this overflowing feeling of happiness. Your letter is too lovely to be true. I feel like I want to print out your letter, make a lot of copy, so I can stick your letter to my books, to the walls of my room, keep it in my bag, fold a copy into small square so I can put it in my wallet. And everytime I feel blue, I'll just simply open my wallet, take your lovely letter out, read, and let the warm loving mind of yours hold me once again.

Here's a confession. Just like how you said that you fall in love with me by my words, I fall in love with you already since the first paragraph.

And I am more overflowed with feelings, the moment I know that behind that anonymous identity of yours, is you, my lover. After all, it's always been you.

Thank you, love. Thank you for all the time, the feelings, and your little surprises. Thank you.

Love,
Arjen Lubnan Melkior




P.S.: Still interested in the coffee date you offered me in the first paragraph of your letter? :)


Thursday 16 April 2015

Gulungan Rindu (II)

Aku terbangun dari tidur lelapku dan waktu yang ku lihat kemarin sedang berjalan, masih juga berjalan hingga kini. Waktu terus menerus berjalan memburu-buru diriku, seperti harimau lapar yang siap menerkam kapan saja.

Tak kenal lelah, tak pandang bulu; begitulah sikap waktu yang selalu saja mengejarku. Aku merasa seperti bagian dari sebuah rantai kejar-kejaran di mana aku menjadi orang paling apes dalam rantai itu karena diposisikan sebagai seorang yang mengejar sekaligus dikejar.

Aku adalah orang apes itu yang mengejar keinginan dan cita-cita sambil dikejar-kejar waktu.

Ah, kangen betul aku dengan dia. Aku ingin sekali segera ketemu dia. Ingin cepat-cepat menyelesaikan berbagai tanggung jawab agar bisa cepat-cepat menghampiri dia. Iya, aku harus bergegas, aku harus berlari, sebelum hari gelap aku harus segera menyelesaikan berbagai urusan tetek bengek. Jika tidak, aku akan keduluan jarum jam yang sudah lewat batas sore dan kehilangan kesempatan bercengkrama dengan dia.

Ya Tuhan, bagaimana aku bisa mempercepat urusan yang tak bisa diburu-buru? Kemampuanku belum sebanding untuk itu. Tapi waktu terus mengejarku, dan kepalaku bisa meletup-letup jika melewatkan kesempatan untuk bisa bertemu dia.
Untuk sesaat, segala tanggung jawab yang harus ku kerjakan membuat aku merasa seperti pelari maraton dengan batu-batu kali yang terikat pada kakiku. Pergerakan terhambat, waktu mengejar, terburu-buru, gelisah, tersandung.

Tapi aku tidak semurah itu! Persetan dengan batas kemampuan, ini justru bukan hambatan, tapi proses untuk melatihku melampaui batas. Ya, aku tidak semurah itu. Keinginanku untuk bertemu dengannya jauh lebih besar dari tembok hambatan yang menghalangiku.

Demi dia, aku rela gila-gilaan menjadi mendadak rajin yang tidak pugu agar selesai segala urusan. Demi dia, aku rela tak kenal lelah menerjang berbagai hambatan. Demi dia, aku mau lari lebih cepat, walau hasil tak selalu sama, perjuangan tidak akan sia-sia. Ketika langkah lari makin ringan dan kepala makin dingin, tanpa dinyana, aku sudah bertekuk lutut di sudut kerlingnya. Dan pada saat itulah aku akan segera melepas rindu, mendekap dirinya, seiring menyombong kepada waktu yang tak sempat menerkam dan tertinggal jauh.

***

Iya, sayang. Demi ketemu kamu, aku rela main kejar-kejaran. Walau kejar-kejaran kali ini tak semenyenangkan waktu aku kecil.

- Arjen L. Melkior


Sunday 12 April 2015

Gulungan Rindu (I)

Matanya yang bersinar-sinar itu selalu berhasil menangkap sukmaku. Ia selalu saja bisa menyuguhi aku pandangan hangatnya walau keringat sudah mengalir, kepala sudah puyeng, dan kata tiada lagi. Dia adalah satu dari sedikit orang di dunia yang di saat sumringah bukan hanya bibirnya yang tersenyum, tapi juga matanya.


Senyuman dari sepasang mata yang indah itu selalu ku rindukan. Tak rela aku rasanya bilamana ada hal yang mengganggu hingga membuat sirna senyuman dari sepasang mata miliknya. Akan ku lakukan segala upaya untuk menjaga kedua matanya agar tetap tersenyum. Apapun itu resikonya, dihadang mati pun aku akan tetap berusaha menerjang. Senyuman dari matanya begitu berharga, sebab itulah pertanda daripada kebahagiaan yang jujur dan bersih dari segala kekhawatiran. 

***


Ah, senyuman tulus nan indah dari kedua matanya seakan mengundang tubuh ini untuk mendekat dengan tubuhnya hingga terasa gaduh jantung kami berdua, berdegup dalam satu irama, mecipta elegi sunyi yang hanya kami bisa dengar. Alunan elegi itu seakan membawa raga kami makin dekat satu sama lain, hidung kami beradu, bibir mengalun dengan syahdu, menjajah kening hingga dagu. Perlahan kami bersentuhan dengan lembut, mata tertutup, tapi batin ini masih bisa merasakan bahwa di balik kelopaknya, sepasang mata indah itu masih tersenyum.


Ketika sunyi berlarut-larut dan matanya yang tersenyum itu makin dalam menatapku, aku ingin segera saja melarutkan diriku dan dirinya dalam sunyi. Biar kami saling sayang dalam sunyi, merasakan hangat dalam sunyi, tak ada yang mengganggu, hanya aku dan dia, berdua dalam sunyi. Hingga akhirnya aku salah tingkah dan bilang, 'aku sayang kamu'.



10 April 2014
-Arjen L. Melkior

Monday 6 April 2015

Bersamamu

Seperti seorang anak kecil yang baru ditinggal anak tetangga karena sudah disuruh pulang oleh orangtuanya, aku langsung menekuk bibir, melipat tangan, dan membuang muka. Seperti anak kecil yang tak bisa apa-apa ketika teman mainnya disuruh pulang, aku tidak berdaya untuk memaksamu tetap tinggal bersamaku lebih lama. Segigih apapun aku berupaya agar kau bisa tetap tinggal, tali sopan santun sudah mengikatku sehingga niatku untuk memaksakan kehendak sudah terhenti sebelum aku melangkah jauh.

Aku adalah anak kecil itu, yang bermuram murja saat teman kesayangannya tersenyum halus sambil melambaikan tangan,  mengucap "sampai jumpa". Padahal aku masih belum mau berpisah, masih belum selesai melepas rindu hari kemarin. Namun aku tak bisa buat apa-apa. Aku ini hanya anak kecil yang naif, perintah orangtua bukan lawanku. Aku hanya bisa berdiam diri, memandangi punggungmu yang perlahan menjauh dan hilang dari pandanganku.

Sama seperti anak kecil yang alergi dengan kalimat "tenang, masih ada hari esok", aku begitu tidak sabaran ingin bertemu kamu lagi, ingin menghabiskan waktu bersama, kalau perlu aku ingin hingga tidurpun  dahiku dengan dahimu lebih dekat dibanding dahiku dengan hidungku sendiri. Lalu kita akan menjadi guling bagi satu sama lain. Saling mengahangatkan tubuh dalam pelukan hingga matahari terbit dan membangunkan kita.

Aku sangat menikmati setiap detak jantung yang berdetak saat aku bersamamu. Lebih-lebih lagi saat kita saling bicara, tak terhitung lagi seberapa bahagianya aku bisa menghabiskan waktu denganmu walau hanya bicara. Saling pandang saja pun aku rela korbankan waktu untuk itu, asal aku melakukannya denganmu.

Sama seperti sekelompok anak kecil yang menjadi teman main sehari-hari, waktu kita untuk bisa bersama begitu terbatas. Kita seperti diburu bom waktu yang siap meledak jika kita sudah kelewatan. Tapi, aku terlalu berbahagia untuk memusingkan diri berpikir soal diriku yang diburu-buru waktu. Berapapun waktu aku punya, aku tak peduli, sebentar atau lama yang penting aku bisa menikmati saat-saat bersamamu. Tak perlu itu khawatir dan gelisah. Khawatir dan gelisah hanya akan membuat waktu terbuang sia-sia. Setiap detik bersamamu begitu berharga.

Andai waktu bisa dibeli, aku akan kerja keras banting tulang agar bisa membeli waktu yang banyak, dan kelak waktu yang berlimpah itu akan ku habiskan dan ku nikmati dengamu.

***

Oh, Tuhan, apakah ini caraMu mengajariku makna dari "waktu adalah uang" ?

Jika memang begitu, ini sungguh cara yang luar biasa gila memompa adrenalinku, namun di saat yang bersamaan aku juga menikmatinya.
Gila. Tidak heran orang-orang menyebutMu "Tuhan yang maha esa".

***

Aku sungguh-sungguh ingin bersamamu. Panas atau hujan, derita atau bahagia, apapun itu yang akan kita lewati bersama, aku tidak peduli, aku akan tetap bersamamu, menjagamu, menyayangimu, mencintaimu. Aku ada untukmu.

- Arjen L. Melkior

Sulit Sekali Menjadi Baik

Diserang api, balas air
Diserang peluru, balas kacang
Diserang pedang, balas padi
Diserang panah, balas roti
Ditampar kanan, kasih kiri
Disakiti, memaafkan

Buang dendam
Buang curiga
Buang iri dengki
Buang amarah
Buang kesal
Buang sedih

Berusaha
Mengasihi
Mencinta
Memaafkan
Bersabar
Bersyukur

Sulit sekali menjadi baik
Tapi apa baik itu selalu benar?
Aku juga tidak tahu

Jadilah manusia baik,
yang setiap hari tak putus berusaha walau iming-iming hasil yang akan diperoleh hanya bualan

Jadilah manusia baik,
yang dengan senang hati mengasihi walau untuk diri sendiri masih sulit

Jadilah manusia baik,
yang tetap gigih mencinta walau sudah tau derita itu pasti adanya

Jadilah manusia baik,
yang masih mau memaafkan pemimpinnya walau nasib rakyat makin melarat dan tanggung jawab tak kunjung tuntas

Jadilah manusia baik,
yang tetap bersabar walau harga diri sudah diinjak-injak para petinggi

Jadilah manusia baik,
yang tetap bersyukur walau hak dirampas oleh penguasa bermuka tebal tanpa dosa

Sulit sekali menjadi baik

Menjadi baik sungguh menyakitkan
Tapi apakah kebaikan tetap dianggap baik jika yang ada hanya hati perih dan kehancuran?

Mampus kalian dicabik bingung dan gelisah


- Arjen L. Melkior

Saturday 4 April 2015

Nama

Kangen juga rasanya untuk sedikit mencurahkan isi kepala yang berupa potongan-potongan memori. Pendek kata, curhat alias nyampah alias membeberkan beban memori dan emosionil (menyebalkan ya bukannya nulis emosional aja. Ini saya memang sengaja, sih).

Namun, kenyataannya lanjutan dari tulisan ini justru tidak nyambung sama sekali dengan isi paragraf pertama. Kalau kamu sudah pernah baca post pertama blog saya, kamu akan mengerti bahwa sikap jayus saya yang saya sebut-sebut itu sekarang sedang muncul. Agak bingung juga, sebetulnya saya ini sedang jayus atau canggung.

Walau tidak nyambung dengan paragraf pertama, tapi yang penting masih nyambung dengan judul.
Ya, betul. Saya mau bicara soal nama. Arti sebuah nama. Karena saya tidak tau arti nama orang lain, ya jadinya saya menjelaskan arti nama saya sendiri. Ya iyalah, masa namanya Syamsul yang saya jelasin di sini artinya. Saya sendiri juga gatau Syamsul siapa pula.

Sudah. Cukup sintingnya. Nanti seru sendiri malah kacau balau bisa bahas supermodel naik gajah terbang.

***

Banyak orang berkata bahwa nama itu adalah doa, harapan, dan cita-cita yang diperuntukkan atau malah dibebankan bagi sang pemilik nama.

Berikut ini adalah pemaparan dari doa-doa, cita-cita, dan harapan yang dibebankan kepada saya.

Nama lengkap saya terdiri dari 3 kata dengan arti dan asal-usul yang berbeda-beda yang akan saya bahas satu per satu.

Arjen Lubnan Melkior.

Arjen:
Nama yang berasal dari negeri kincir angin ini berarti cahaya putih. Dengan nama ini saya diharapkan agar bisa menjadi cahaya putih yang menuntun manusia melewati lorong lika-liku kehidupan, dengan cahayanya yang menyilaukan sebagai senjata yang membutakan musuh dan hal-hal buruk yang menjadi penghalang.

Lubnan:
Nama ini adalah sebuah nama yang diambil dari bahasa arab. Lubnan adalah bentuk arab dari nama negara Lebanon. Tidak, saya bukan orang Lebanon atau lahir di Lebanon. Tapi, dengan memiliki nama ini, saya diharapkan agar bisa menjadi seperti negeri Lebanon yang indah dan memiliki sejarah hebat yang bisa bermanfaat untuk manusia pelajari atau jadikan teladan. Dan seperti Lebanon pula, saya masih dimaklumi sebagai manusia yang juga punya cacat cela dalam kehidupannya, namun tak berhenti berjuang agar lebih baik demi harga diri dan martabat diri sendiri.

Melkior:
Atau biasa juga disebut 'Melchior' adalah sebuah nama Persia yang berarti raja. Nama ini juga ditemukan di dalam kitab Injil sebagai nama dari salah satu orang bijak yang menjenguk kelahiran dari Isa. Sesuai dengan arti dari nama ini saya diharapkan untuk dapat bersikap sebagai raja yang bijak untuk diri sendiri, seorang raja daripada perasaannya sendiri, seorang raja daripada emosinya sendiri, seorang raja daripada pikirannya sendiri, seorang raja yang bisa mengendalikan dirinya secara keseluruhan dengan bijak.

Itulah semua doa-doa, cita-cita, dan harapan yang dibebankan/diperuntukkan bagi saya. Cukup gila ya beban saya. Semoga nama ini akan menjadi doa agar saya betul-betul bisa menjadi pribadi yang baik.

Jadi, apa bebanmu?

- Arjen L. Melkior


Sajak Rindu

Aku tertidur, kamu terbangun
Kamu tertidur, aku terbangun
Aku rindu
Kamu masih tidur
Aku tunggu
Satu jam
Dua jam
Tiga jam
Kopi mana kopi

-Arjen L. Melkior

Wednesday 1 April 2015

Tango Dilema dan Derita (Babak 2)

Di antara barang-barang yang berserakan dan lantai kotor dengan ranjau tajam, aku berjalan menghampirinya. Mata pisau tajam yang menatap dadaku tak jadi penghalang bagiku. Kusingkirkan pisau berdarah itu dari tangannya yang tegang, tak peduli walau mungkin aku terancam untuk diserang. Aku tetap kepala batu dan mendekatinya dalam sunyi.

Dia mendesis dalam keperihan saat kusentuh tangan kasarnya yang penuh goresan dan luka. Sekali lagi ku sentuh tangannya itu dengan lembut, kubasuh dengan air dan doa. Dia masih menunduk, menyembunyikan wajahnya yang kasar berlumur darah dan keringat. "Lihat aku", ucapku padanya. Masih sambil membasuh kedua tangannya yang melemah, aku mencoba bicara padanya, walaupun ia masih belum mau melihat mataku. "Kenapa kamu melakukan ini?" Tanyaku padanya. Namun yang kudapat haanya kesunyian yang berlarut-larut.

Mungkin pertanyaanku terlalu blak-blakan dan dia sendiri sepertinya juga masih berusaha mencari ketenangan. Menyadari hal tersebut, aku segera mengeringkan tangannya, juga tanganku usai membasuh luka di kedua tangannya. Dengan sangat hati-hati, aku menyisir rambutnya yang berantakan dengan jemariku sambil perlahan sesekali aku mengelus kepalanya yang masih menunduk itu. Wajahnya yang pucat dan penuh torehan lama-lama terlihat jelas dibawah cahaya lampu kamar setelah helai demi helai rambut yang menutupi wajahnya kusingkirkan dengan jemariku.

Sungguh suatu pemandangan yang tidak pernah aku harapkan tapi harus aku hadapi. Hatiku bagai dikoyak, nafasku memberat, kantung air mataku memberat, berontak untuk mengalir. Bukannya aku kasihan atau iba, aku heran, bingung dan tak kuasa menahan air mata karena tak tau beban macam apa yang ia pendam dan tak bisa berbuat apa-apa. Sepenasaran apapun diriku, aku enggan bertanya, tak ingin pertanyaan-pertanyaanku malah makin menghantuinya dengan kepedihan.

Aku masih tidak tau perasaan apa yang ia pendam. Kesedihan apa yang selama ini ia tanggung sendiri? Rasa sakit yang seberat apa hingga ia melakukan semua ini pada dirinya? Aku tidak tau, mungkin tidak akan pernah tau. Aku penasaran, tapi tak berdaya.

Mungkin memang pertanyaan dan kata-kata mutiara bukanlah hal yang ia butuhkan. Dia hanya butuh pendengar dan kenyamanan. Paling tidak dengan begitu dia menjadi lebih tenang.

Maka, segera kubuang jauh-jauh serakah dan curiga seraya aku mengelus kepala hingga punggungnya, dan memeluknya dalam keheningan. Telinga siaga mendengar, mulut terkunci, hati merangkul, dan pikiran terbuka.

Mungkin aku memang tidak tau, tapi paling tidak aku ada untuknya. Aku bersedia menjadi rumah yang menjadi tempat ia mengistirahatkan dirinya dari segala penderitaan yang ia tanggung, dan jika Tuhan mengizinkan, biarlah aku mencabut segala derita itu darinya, buang jauh-jauh tanpa harapan akan kembali.

Tapi untuk saat ini, biarkan dia dalam pelukan badanku dan hatiku, dalam damai, kesunyian, dan kasih sayang.

- Arjen L. Melkior

Saturday 28 March 2015

Puisi Sebatang Rokok

Ketika sepi menjadi tamak
Dan jantung pun membatu
Asap bergemuruh
Tarikan demi tarikan
Dan kepulan demi kepulan
Luka dan bahagia silih berganti
Tarik dan kepul sampai mati

Bingung meradang
Keliru mencekik
Perasaan disepak kesana kemari
Tarik dan ulur sampai mati

Dibuai dan dibuang
Dilumpuhkan tapi tetap berjuang
Berlari
Berjalan
Merangkak
Hingga sisa tangan dan siku
Terus maju sampai mati

Asap dan asap membaurkan
Membutakan mata terhadap luka
Mengasingkan hidung dari aroma duka
Telinga budek dari tangisan
Menahan kelopak mata
Menyimpan tangis
Simpan dalam-dalam sedih
Makan sendiri dalam hati

Biar asap menyelimuti
Sampai fajar esok hari
Dan ketika asap tak ada lagi
Tak perlu gelisah itu lagi
Hangat surya menyembuhkan
Lupa semua derita
Sterilkan segala duka
Siap kembali bertaruh hati
Siap kembali menyabung nyawa


- Arjen L. Melkior








Monday 23 March 2015

Jalan-jalan

Setelah sekian lama aku berjalan, sudah tak terhitung berapa kali aku merogoh kantong celanaku, mengambil ponselku, lalu memeriksa ponselku itu sambil terus berjalan dan menunduk. Tidak terasa sudah hampir gelap. Aku yang kebanyakan menunduk ini sampai tidak sadar keadaan langit karena jarang mendongakkan kepala.

Hari sudah makin gelap. Walau lampu jalanan menyala, tetap terlalu gelap bagi mataku. Bahaya kalau aku banyak menunduk ketika berjalan di malam hari begini. Sebaiknya aku singkirkan dulu ponselku. Aku tidak mau celaka. Aku masih ingin bernafas, paling tidak sampai hari pertemuan kami.

"Hampir saja!" Ucapku dalam hati. Sebuah motor dengan seenaknya naik ke trotoar dan berusaha menyalipku. Dasar bajingan lalu lintas. Tidak terima macet, jatah pejalan kaki malah diembat. Setan. Jalang. Bajingan. Bandel sekali. Untung sejak tadi aku sudah inisiatif untuk tidak sering-sering menunduk untuk memeriksa ponselku, kalau tidak, mungkin aku sudah jadi daging bolong-bolong akibat ulah pengendara kampret itu.
Aku terus berjalan menuju arah yang tak pasti, entah apa pula yang aku tuju. Aku tetap berjalan melewati hiruk pikuk kota yang dihiasi lampu-lampu gedung, jalanan, dan kendaraan. Kini beda dengan beberapa jam sebelumnya. Aku lebih sering mendongakan kepala, berusaha mencari keberadaan bulan atau bintang. Membayangkan, jika dia pun sedang memandangi langit yang sama walau tanah berbeda. Ah,    khayalan babu. Di perkotaan seperti ini sulit mengamati benda langit di malam hari. Aku hanya melihat puncak gedung-gedung. Cahaya benda langit kalah oleh lampu-lampu kota ini. Tunggu. Ada bintang! Iya! Cukup terang juga bintang itu! Apa itu Venus? Lah, kok bergerak cepat? Sudahlah, persetan dengan benda langit, itu cuma pesawat lewat.

Aku turunkan kembali derajat pandanganku karena kecewa terhadap langit perkotaan. Kepalaku mendadak puyeng. Pandanganku membaur kehitaman. Ya, tekanan darahku yang hipotensi ini sepertinya kambuh. Tidak lama kemudian pandanganku kembali normal. Aku langsung meraih sebatang rokok dan korek api dari kantong kemejaku. Sebatang rokok mungkin akan membuatku merasa lebih baik. Entah darimana aku mendapat logika semacam itu, tapi paling tidak ketika aku merokok aku akan lupa dengan keadaan tekanan darahku, dan sikap manja terhadap penyakitku akan segera sirna di hisapan pertama.

Aku terus berjalan menyusuri jalanan yang padat dan ramai sambil mengepulkan asap rokok. Hari sudah semakin malam. Tukang martabak dan abang gerobakan serta rumah makan tenda sudah mulai menjamur. Aroma makanan melayang-layang, terhirup hidungku yang kemudian mengirimkan sinyal kepada otakku, "aku lapar.".

Aku harus segera makan malam sebelum sakit perut dan menderita maag. Banyak aku dengar cerita teman-temanku yang kerabatnya meninggal dunia karena penyakit maag. Amit-amit. Aku tidak mau mati konyol apalagi sampai sempat dirawat di rumah sakit hingga menghamburkan uang banyak karena sesuatu yang konyol. Lagipula, aku memang sudah lapar dan rokok ini malah semakin mencekik perutku.

Tanpa sadar, ternyata aku sudah berjalan cukup jauh selama berjam-jam. Tidak heran kalau aku betul-betul lapar, bukan sekedar lapar mata atau tergoda aroma makanan. Aku memutuskan untuk segera mampir makan di tempat makan nasi uduk yang terletak dipinggir jalan. Tempat ini menggunakan teras suatu gedung yang sudah tutup. Terasnya cukup bersih, sehingga pengunjung bisa lesehan di atas karpet yang disediakan. Wah, aku baru ingat tempat makan nasi uduk ini adalah tempat makan legendaris yang sering diceritakan ibuku. Tempat ini sudah ada sejak zaman ibuku masih jadi remaja gaul yang suka nongkrong sana-sini. Memang, nasi uduk disini bisa menjadi begitu legendaris karena usianya sudah tua dan nasi uduknya memang lezat.

Usai makan, aku menyalakan sebatang rokok dan segera menghisapnya dengan tampang kekenyangan yang relatif mirip tampang orang sesudah orgasme. Sungguh nikmat bisa makan enak dan murah lalu menghisap satu dua batang rokok setelahnya. Inilah yang namanya surga manusiawi kecil-kecilan. Suatu kebahagiaan sederhana yang menjadi surga kecil manusia dan bisa menjadi lebih nikmat lagi jika dinikmati bersama orang-orang terdekat dan tersayang.

Pikiranku tiba-tiba melayang kepada dirinya. Kenikmatan kecilku tersentak seketika. Apa kabar dia? Apakah dia baik-baik saja? Aku segera merogoh kantong celanaku, mengambil ponselku, dan memeriksa ponselku sambil menunduk. Belum ada pesan apapun darinya. Sejak hari masih terang hingga aku sudah kenyang dan matahari sembunyi, belum ada kabar apapun darinya. Lalu, sekarang apa? Aku harus apa? Aku harus kemana? Teman-temanku sedang sibuk dan sulit dijangkau. Aku sendiri juga sudah kenyang. Aku tidak mau menghamburkan uang untuk nongkrong-nongkrong sendiri. Sebaiknya aku pulang.

Aku segera membayar bon santapan malamku itu kepada abang nasi uduk lalu beranjak dari tempat lesehan dan kembali berjalan sambil mengepulkan asap rokok. Aku berjalan pulang dengan rokok di tangan kiriku dan ponsel di tangan kananku. Siapa tau dia tiba-tiba mengirim pesan dan memberi kabar. Aku ingin segara membalasnya. Aku tidak ingin membuatnya lama menunggu. Paling tidak, aku berusaha untuk itu.

Pada akhirnya, segala hal yang aku lakukan dalam satu hari penuh adalah satu hal yang sama yaitu menunggunya, berusaha mengalihkan perhatianku darinya. Namun, nampaknya aku memang sudah sayang betul dengannya, sepadat apapun pikiranku, tak akan pernah luput perhatianku terhadap dirinya.

Aku harap dia baik-baik saja dan bahagia. Tidak bandel seperti pengendara yang aku temui beberapa jam lalu, dan turut menikmati surga manusiawi kecil-kecilan disana seperti diriku disini.

Aku pun terus berjalan dan berjalan, mengepulkan asap rokok sambil membawa pulang harapan dan kepercayaan bahwa dia baik-baik saja. Dia akan pulang.


- Arjen L. Melkior

Saturday 21 March 2015

Solar System

This is not a science class
I am taking you on a trip to see the solar system in my head
No fees to pay, just a free pass in a form of trust

My brain is the sun.
The thoughts I have in mind are planets,
moving in circles, evolving around my sun.
Some thoughts are random space matters floating away after a while,
some stays around and let themselves to be exposed by the light of my sun once in a while.

On the farthest radius of orbits from the sun, lies the planet of dislikes and hate.
It consists of dark matters of hate and minerals of dislikes
Orbiting with a slow speed
Lacking light and attention from the sun
Hate and dislike are two different things, I know
I just don't want to spare too much space for trash bin of my mind

There are six other planets revolving closer to the sun
Planet of childhood memories
Planet of daily memories
Planet of work and study
Planet of awareness
Planet of  needs and wants
Yes I know that's only five
But that is not the point
Those five planets revolves around my sun with average speed,
get almost the same amount of light and attention from the sun,
and also average space in the solar system

There is only one planet with the closest orbital ring to the sun,
revolving faster than any planet,
extracts major attention from my sun,
the most powerful planet to win more space in the system
and is awarded with great attention from another big star called the heart
The planet's name is Raztavar, the only planet with an actual name
It consists of the thoughts of those people I love the most - my main family,
my bestfriends, they are all in the same category. They're my family.
And there's you. No, you're not in the same category.
Yes we are like family, but there's something different.
Is this what they call a romantic kind of love?

*
With you being there in Raztavar,
can you imagine how much attention you get from my sun,
how much light that shines on you every day that I can't get my eyes off of you?
Can you imagine how so very frequently I think of you with that fast revolving speed of the Raztavar?
Can you imagine how precious you are as an element of the Raztavar that even gets attention not only from the sun, but also from another big star called the heart?

*

You are the apple of my eye,
the main act of my stage,
the closest to my sun,
the citizen of my heart,
the permanent resident of my mind.

Long story short,
You are always on my mind,
stay safely in the heart of mine.


*

Thank you for coming with me on a trip in my head.
Please keep and take care of the free pass that I gave you. 




- Arjen L. Melkior

Tutup Kasus Penyalahgunaan Usaha

Setelah pengajuan surat dari tersangka kepada penggugat, penggugat memaklumi kesalahan yang telah dilakukan oleh tersangka. Berikut dialog yang terjadi dalam penutupan kasus penyalahgunaan usaha.

Tersangka: Jadi, apa saya dimaafkan?

Penggugat: Permintaan maaf diterima. Tersangka saya ampuni.

Tersangka: Apa saya dibebaskan dari tuntutan?

Penggugat: Bebas bersyarat.

Berikut terlampir syarat-syarat dari penggugat yang harus dipenuhi oleh tersangka setelah dibebaskan dari tuntutan:

1. Belajar dari kesalahanmu.

2. Lebih jujur soal perasaanmu.

3. Perlihatkan aku dunia yang ada di kepalamu itu lewat tulisan-tulisanmu.

4. Jangan takut.

Dengan demikian, tersangka bersedia memenuhi syarat dan meneima konsekuensi atas perbuatannya. Maka, dengan ini, kasus resmi ditutup.

((Ketok palu))




-Arjen L. Melkior

Friday 20 March 2015

Surat dari Tersangka Kasus Penyalahgunaan Usaha

Kepada Yth:
Penggugat


Hati dan pikiranku adalah sebuah rumah yang aku sebut rumah jiwa. Rumah itu sudah pernah melewati berbagai cuaca, diguncang sekian gempa, dan dimakan waktu.  Aku begitu kapok dan takut akan terulangnya lagi berbagai bencana itu. Maka aku dirikan tembok-tembok kebencian dan ketidakpedulian yang begitu kokoh agar rumah jiwaku yang sudah rusak ini tidak semakin rusak.

Suatu hari, kamu datang dengan rasa ingin tahu, kebaikan, dan adat anti-menyerahmu. Kamu tanpa ragu menghancurkan tembok-tembok itu dengan tiga hal yang kamu bawa itu sehingga nampaklah rumah jiwaku yang bobrok ini. Kamu menemaniku, memperlakukanku dengan sangat baik, tak luput pula perhatianmu itu dari kesadaran untuk memotivasiku agar menjadi lebih baik dari sebelumnya dan berhenti menyelimuti rumah jiwaku di balik tembok-tembok kebencian dan ketidakpedulian.  Kamu telah sukses membawa kembali angan, harapan, dan keyakinanku yang lama telah hilang.

Aku menyukaimu. Tapi, ketulusanmu dalam segala hal yang kamu lakukan mendewasakan "suka" menjadi "sayang" dan menghadirkan hal baru pula dalam diriku, "cinta". Aku tidak main-main. Aku betul-betul merasa demikian. Aku betul-betul dengan tulus menyayangimu. Aku tidak dipaksa atau terpaksa. Menyayangi ataupun mencintaimu ibarat sesuatu yang sudah mengalir begitu saja di dalam pembulu darahku. Kamu pun memang berhak untuk disayangi, dicintai, dilindungi, dan diperhatikan.

Maka perlahan-lahan aku mulai membangun kembali rumah jiwaku dengan segala ketulusan. Aku bangun kembali rumah jiwaku dengan cita-cita bisa membahagiakanmu dan memperlakukanmu sebaik-baiknya seorang manusia. Aku sangat ingin melakukan yang terbaik untukmu. Aku sangat berhati-hati, malah mugkin terlalu hati-hati karena saking takut salah langkah.

Namun, aku rupanya masih terlalu bego, terlalu sok tahu dan buru-buru dalam membangun kembali rumah jiwaku. Aku terlalu keras, aku memforsir diriku untuk melakukan yang terbaik. Dan tanpa aku sadari, ketika aku berusaha terlalu keras, hasilnya malah berantakan, banyak kesalahan, perhatianku kurang detil dan merata.

Lebih begonya lagi, aku tidak langsung menyadarinya. Aku masih terlalu keras berusaha sampai kamu marah, kesal, sedih, kecewa, dan sakit. Kata-katamu yang berbalut kesedihan, kekecewaan, serta rasa sakit itu bagai badai yang datang dan memorak-porandakan sebagian dari rumah jiwaku.

Aku sedih, bukan karena rumah jiwaku diterpa badai. Aku sedih karena baru menyadari betapa jeleknya rumah jiwa yang aku bangun demi dirimu itu. Iya, aku sedih. Tapi aku tidak marah biarpun kamu telah mendatangkan badai bagi rumah jiwaku.

Badai itu merupakan berkah bagiku. Suatu hantaman untuk menyadarkanku agar aku tidak melangkah lebih jauh ke dalam jurang kesesatan yang berujung pada kesengsaraan.

*
Maafkan aku lantaran bego
Bego karena tidak menyadari kesalahan dalam cara-caraku memperlakukanmu

Maafkan aku lantaran apatis
Apatis karena masih saja kurang memperhatikan dengan detil

Maafkan aku lantaran egois
Egois karena terkadang terlalu memikirkan hanya apa yang tersimpan di pikiranku tanpa menanyakan apa yang kamu pikirkan

Maafkan aku lantaran kurang jujur
Kurang jujur soal kesedihanku

Maafkan aku lantaran malu
Malu karena takut dianggap selamanya cengeng dan bego

Maafkan aku lantaran takut
Takut mengecewakanmu sehingga aku terlalu hati-hati dan malah membuat kesalahan

Maaf, di luar kesadaranku, ternyata aku bego, apatis, kurang jujur, pemalu, dan penakut. Namun, ketahuilah, tak pernah ada sedikitpun maksud di dalam benakku untuk memperlakukanmu dengan tidak baik apalagi sampai mengecewakanmu. Aku hanya ingin melakukan yang terbaik untukmu. 

Tapi, lagi-lagi aku lupa. Terkadang, apa yang kita kira adalah sesuatu yang terbaik, ternyata bukan sesuatu yang terbaik juga bagi orang lain.

*

Terima kasih sudah  menyadarkanku sebelum terlalu jauh. Terima kasih, kamu telah mempercayaiku dan jujur kepadaku soal perasaanmu. Terima kasih.

Kini, dengan segala kesadaran dan kemauan untuk berkembang yang aku miliki, aku ingin memperbaiki kembali rumah jiwaku. Aku ingin mencintaimu dengan benar - dengan sederhana.

Salam sayang,
Tersangka Kasus Penyalahgunaan Usaha




-Arjen L. Melkior

Monday 16 March 2015

Dumb and Numb

I was just a moving pack of flesh
No soul, no heart, just systems moving like gears in an analog clock

I was a cold-hearted man
All the good and bad things they thought I did
Are just my manner of killing my time

I was just a factory standard prototype
All the thoughts and plans I had in mind
Are just series of schedules that I strictly follow every single day

I was dumb for thinking all the things I did were right

I was dumb for putting the triangle block into the circle hole,
for having a mindset that all the things I had and did were how they're supposed to be.

I was dumb for thinking that it's alright

I was dumb for feeling comfortably numb

I was, indeed, dumb and numb

After all,
I was just a dumb and lonely soul waiting to be saved

With all the sanity and humbleness I think I still have left, I ask of you

Will you break this wall of dumbness and numbness?

Will you save me?


-Arjen L. Melkior







Sunday 15 March 2015

Humans Are Funny

Do you remember how optimistic you were when you were younger?
"I want to be a teacher."- Age 5
"I want to be a doctor."- Age 7
"I want to be an astronaut."- Age 8
"I want to be an athlete."- Age 10
"I want to be an actor."- Age 12
"I want to be a musician."- Age 13
"I want to be a prime minister."- Age 15
"I want to be rich and famous."- Age 16
"I want to graduate and get a good job with easy money!"- Age 17

*

As you get older, things are getting bigger than how they used to be. Responsibilities haunt you every single day. You are learning that life isn't as simple as the concept of good and bad. What you thought was fun when you were younger, turns out to be another weight you have to carry on your aching shoulders. 

Then comes "Love".

Love strikes into every human's life out of nowhere. It spreads quickly like a deadly virus in a flash snatch. It provides humans with motivation in the name of pain and pleasure. Its selfish traits push humans to make this fragile thing called 'Love' as their priority in life.  Love promises humans a lifetime happiness - after episodes of pain and misery. 

As humans get older, they get wiser. 

As humans get to know 'Love', they get hurt, for they are to be stronger in time.

As humans get to know 'Love', they are survivors in the making.

As humans get to know 'Love', they understand better.

As humans get to know 'Love', they are learning.

As lessons learned, you are complete.

*

Do you remember how optimistic you were about what do you want to be when you were younger?

As you get older, you realize that all you want is just to be happy.

As you get to know love, all you want is just to be happy with your loved ones.

And in the end, all you want is just to be that one person who is able to make your loved ones happy. 
Even if it takes your power, your pleasure, your pride.


Humans are funny.


-Arjen L. Melkior

Saturday 14 March 2015

Tango Dilema dan Derita (Babak 1)

Di sudut ruangan sore itu, dia duduk di lantai. Kakinya ditekuk dan dipeluknya rapat-rapat hingga paha bertemu dada. Kepalanya ia tundukkan hingga dahi menyentuh kedua lutut. Nafasnya patah-patah. Sesekali ia mengusap-usap hidung dan matanya. Kedua lengan baju dan sebagian celananya sudah basah dan lengket.

Dia adalah perempuan baik-baik yang sangat mencintai seorang lelaki yang berpikir dengan zakarnya. Dia adalah perempuan baik-baik yang sangat suka memberi tanpa pamrih. Dia adalah perempuan baik-baik yang memberi keperawanannya tanpa pamrih kepada seorang lelaki yang akalnya berpusat pada zakarnya. Dia adalah perempuan baik-baik yang baru ditinggal seorang lelaki yang sangat ia cintai. 

"Usia belum matang, dan aku sudah tidak perawan." Ucapnya datar dengan mata menerawang dan rahang bergetar. Badannya kotor dibalut lumpur dosa. Telinganya hampir tuli, jantungnya hampir bocor ditusuk-tusuk hinaan dan makian. 

"Aku sudah habis. Hal yang seharusnya menjadi modalku untuk tetap bisa menyandang cap manusia yang baik, aku lepaskan begitu saja dengan cara-cara haram. Aku bodoh. Aku terbujuk rayuan setan bengal, dimakan nafsu, lalu bergejolak tanpa pikir panjang. Pandangan keluarga, teman, dan masyarakat sekitar terhadapku hancur berantakan. Aku dihina, dicaci, dimaki, dilepeh dari lingkungan sosial karena kebodohan fatalku. Aku disebut binatang karena nafsu yang menggila, aku dikutuk dengan sebutan jalang, aku diancam dengan ramalan-ramalan nasibku diakhirat. Aku dikucilkan karena aku sudah dianggap contoh buruk yang kotor dan menjijikan."

Aku memandanginya bicara dengan khusyuk dan kemudian memeluknya.  Begitu aku memeluknya, badannya yang tegang mendadak rileks seakan ada suatu beban yang terangkat. Masih dalam pelukan, aku berkata padanya dengan tenang, "sudah, jangan cengeng. Lelaki itu bangsat, betul. Kamu berdosa, betul juga. Sana cuci muka dan ganti pakaian. Kamu jadi terlihat betulan kotor bersimbah ingus begini."

Tiba-tiba ia merenggangkan dirinya dari pelukanku. Isak tangisnya berganti dengan wajah penuh tanda tanya. "Kamu mendengarkan penderitaanku dengan seksama lalu memelukku dengan sangat tulus. Tapi begitu kamu membuka mulut, tidak kudengar sedikitpun belas kasihan darimu. Aku jengkel... tapi kamu tidak menghinaku. Aku tidak mengerti."

*

Aku tidak mau mengasihaninya. Belas kasihan adalah senjata paling mematikan bagi jiwa manusia. Belas kasihan ibarat pistol berbentuk botol susu. Terlihat aman dan mampu memberi kenyamanan namun mematikan. Belas kasihan hanya akan menghambat seseorang untuk bangkit dan berusaha. Dengan spesialisasinya dalam menenggelamkan manusia dalam kesedihan yang berkepanjangan, belas kasihan itu akan tumbuh menjadi pembunuh.

Akupun tidak mau menghinanya. Apa hakku untuk menghina? Dia memang bodoh dan berdosa, tapi apa bukan namanya jahat dan tega bilamana kita menyerang orang yang menderita dengan berbagai hinaan? Bukankah kita juga binatang yang liar jika dengan seenaknya mencaci orang yang menderita dengan sebutan binatang? 

Aku sendiri juga makhluk hidup dengan keterbatasan. Siapalah aku ini untuk menjauhi dan menghukum dia karena dosanya. 

Tuhan yang berkali-kali dikhianati milyaran manusia  pun masih mau mengampuni.

*

Jangan cengeng, jangan sombong.


- Arjen L. Melkior

Friday 13 March 2015

A Sweet Serial Killer

You're a psychopath
A sweet serial killer
Drag me into your deep dark lair
Caress me like a dragon's egg
Squeeze my hands in your warm hold
Pulling me in and out of troubles
Apologize like a servant, for I am your lord
Cure my miseries every night better than a wife
Always near to kill my fears
You have no heart like a devil
You have no aim for possession
But you're always there watching me over time
In the roaring traffic road, in the silence of your lonely bar
Keep on loving me near or far

-Arjen L. Melkior
Congratulations. You stole my heart.

Thursday 12 March 2015

Sehabis Musibah, Adakah Berkah?

Sebuah judul yang merupakan sebuah pertanyaan. Pertanyaan yang diam-diam punya harapan.

"Sehabis musibah, adakah berkah?"

Seringkali aku bertanya demikian sambil diam-diam berharap bahwa jawabannya adalah iya. Diam-diam aku berharap memang berkah itu ada nantinya. Aku  tidak tahu kapan berkah datang, namun keyakinan bahwa berkah itu pasti adanya membuatku terus hidup, mengasah mata pisau kegigihanku, menimang harapanku dengan hangat dan sangat hati-hati. Kedatangan berkah begitu tentatif, tidak ada jaminan otentik, tapi keyakinanku bisa-bisanya dengan mantap memberi garansi bahwa berkah itu akan datang pada waktunya. Ia tidak akan terlambat, ia tidak fana, ialah hak manusia.

Berkah bukan sesuatu yang instan. Berkah bukan kado ulang tahun yang datang begitu saja. Berkah bukan barang yang bisa dibeli. Kalaupun berkah itu suatu benda fisik yang nyata dan tertangkap indera manusia, maka seluruh dunia akan berperang untuk memiliki benda itu karena uang sebanyak apapun tak mampu membeli berkah maka nyawa dan harga diri yang menjadi taruhannya. 

Berkah bukan sembarang hadiah atau upah. Berkah merupakan karunia Tuhan yang berupa kebaikan bagi kehidupan manusia. Kebaikan yang berkesinambungan. Tidak heran manusia berjuang demi berkah, menjadi baik dan menerima kebaikan adalah impian dari hati kecil tiap manusia.

Setiap hari kita sudah ditunggu oleh medan yang berat - sebuah rute tanpa rambu dimana kita dipaksa berjalan, bergerak menembus derita dan nyeri; dipaksa bertahan sampai tujuan setelah sudah berkali-kali ditempa baja, ditoreh keputusasaan, dimakan lautan duka, digempur kekecewaan. Cuma modal keyakinan, harapan, cita-cita, dan cinta yang kita bawa dan kita tetap nekat bergerak melalui berbagai musibah dengan iming-iming berkah di kepala kita. Syukur-syukur kalau belum keburu mati. Tapi manusia terus bergerak dan waktu terus berputar. 

Bukan lagi suatu hal yang tabu ketika ada mereka yang keburu mati sebelum sempat mencicipi berkah. Mati rasa, mati lahir batin. Sehabis musibah, malah mati kemudian. Lalu Tuhan mereka jadikan tersangka atas ketidakadilan yang mereka rasakan. Sungguh merugi mereka yang berpikir demikian. Merekalah sebaik-baiknya contoh orang yang menyianyiakan berkah. Saat berkah itu sebenarnya datang dan singgah, mereka tidak menyadarinya, atau lebih parah lagi mereka tidak merasa cukup. Akhirnya mereka menolak mentah-mentah karena merasa mereka patut mendapat lebih. Tapi itulah adat jelek manusia yang sering kumat, selalu ingin lebih dan lebih tapi tidak ingat persis setimpalkah perjuangan mereka dengan apa yang mereka inginkan. 

Bersyukurlah, maka berkah-berkah kehidupan itu akan semakin jelas keberadaannya, semakin dekat jangkaunnya dari jemari kita. Belajar bersyukur dalam setiap musibah yang sudah dilalui, maka akan terbukalah mata dan hati kita pada berkah-berkah yang selama ini terus berputar mengiringi kehidupan manusia. Sehabis musibah, ada berkah.

Jika suatu saat nanti kau bertemu dengan berkah itu, jangan berhenti. Syukuri, maju, dan terus maju. Bergerak, rubuhkan lagi medan kehidupan yang menanti di depan, jangan tunda-tunda bahagiamu.


-Arjen L. Melkior

Wednesday 11 March 2015

Mata dan Mata

Mata dan mata bergerak, tertatih, seakan masih ada sedikit sinar yang mereka rindukan. Mata dan mata itu berhamburan dimana-mana. Sesekali aku berpapasan dengan satu dua pasang, dan mata-mata itu menyapa dengan bersitan sinar angan dari balik iris mereka.

"Maaf." Ujar mataku, dengan rasa bersalah karena tak mampu membalas sinar  mata dan mata itu dengan balasan yang setimpal.

"Maaf, yang ada di balik kedua lensa mata ini hanya bayangan yang menari-nari dengan segala asa yang tersisa."

"Maaf, yang kupunya tak sebanding dengan sinar angan yang menari-nari di balik lensa mata dan mata itu." Maka karena tidak tega, kepalaku menunduk, melindungi mata dan mata yang malu-malu.

"Dasar pemalu." Protes hidungku yang dengan sombong tetap menjulang walau kepala tertunduk.

Sebuah suara dari dalam benakku menimbrung dengan lembut, "dia bukan pemalu, dia sedih."

Dan mereka semua, bungkam.


Arjen L. Melkior
Jakarta, 2015

Tuesday 10 March 2015

Koordinat (0,0)

Banyak yang akan cukup bingung dengan judul post pertama blog gue. Bukan, ini bukan blog orang baik yang suka nyediain rumus cepat matematika buat siswa SMP-SMA ataupun mahasiswa yang kepepet mau ujian. Bukan, ini pun bukan blog guru atau dosen yang seriusnya minta ampun dan setiap tahun di jidatnya bertambah satu garis karena kebanyakan berpikir sambil mengernyitkan jidat.

Cukup ya basa-basinya.

Maksud dari judul "Koordinat (0,0)" adalah istilah bagi saya untuk yang namanya starting point. Jadi, pengertian lebih lanjutnya adalah, post ini menjadi semacam post awal, post pembukaan sebelum saya memulai blogging di blog saya yang baru ini. Walau sebetulnya, yaa, nggak baru-baru amat. Karena sebelumnya saya udah punya blog yang lumayan rame dengan puing-puing pikiran saya, tapi karena sudah terlalu lama sempat tidak aktif, begitu saya berniat kembali blogging, eh malah sudah hilang. Entah dihapus atau ada yang meretas blog lama saya. 

Curhat sedikit, saya memang sempat menjadi penulis blog yang aktif, tapi karena sempat sibuk gila-gilaan, saya langsung lupa begitu saja. Setelah sekian lama cukup penat dengan ini dan itu, akhirnya, semenjak 2 hari yang lalu, rasa kangen untuk blogging (walau iseng-iseng semata) sudah terlalu menggebu-gebu dan berhasil mendobrak dinding batu kepala saya. Yaaaaa, akhirnya saya turuti rasa kangen itu. Walaupun come-back saya ini tidak sesuai ekspektasi karena blog lama saya sudah hilang ditelan takdir, paling tidak saya masih bisa menulis juga toh di blog baru ini. Tidak ada salahnya memulai sesuatu yang baru. Lagipula, kalau dipikir-pikir, blog saya yang lama juga bukan blog terkenal ataupun blog dengan postingan yang jelas (maklum, saya memang kebanyakan becanda yang jayus di blog lama saya). Semoga saja, post-post yang akan saya post disini bisa menghibur atau bahkan bermanfaat bagi jiwa dan pikiran pembaca. Postingan yang akan saya buat pun akan bermacam-macam dari curhatan, cerita, berita, pengetahuan, sampai hal konyol yang tidak penting juga ada. Ya, maklum,  amatir.  

So, I guess this is a good new start for me. A victorious come-back. I think....nevermind. Let's do this.

(GONG SOUND FX)

Welcome to Arjen's Land of Solitude.