Monday 1 June 2015

"Kenapa kamu bilang begitu?"

Kepalanya yang berat tersandar pada pundakku. Aku berusaha menatap wajahnya, tapi dia selalu berpaling dan langsung membenamkan wajah lembutnya di bawah leherku. 

"Kenapa kamu bilang begitu?" Katanya sambil masih membenamkan wajahnya di bawah leherku. Aku terdiam sejenak, masih terlena dalam sentuhan lembut wajah hangatnya yang beradu dengan leherku yang dingin. Entah mengapa, badanku selalu dingin seperti drakula, sementara badannya selalu hangat seperti manusia yang sedang demam. Tapi perbedaan itulah yang sangat kami nikmati ketika bersama. Aku yang dingin menikmati kehangatannya, dan dia yang hangat menikmati sejuk tubuhku.

"Apa kamu tertidur?" Tanya dirinya padaku, sambil masih membenamkam wajahnya dibawah leherku. Aku diam terlalu lama, tenggelam dalam suasana, dan hampir lupa dengan pertanyaannya. "Belum, aku belum tidur," jawabku. Kemudian dia mengulang lagi pertanyaannya. "Kenapa kamu bilang begitu?"

Aku bingung harus menjawab apa, sebab cara dia bertanya sambil membenamkan wajahnya dibawah leherku, sangat manis apalagi dengan suaranya yang kecil dan malu-malu. Aku tersenyum dan tertawa kecil sampai akhirnya dia menggenggam bajuku dengan kuat karena gemas pertanyaannya  belum terjawab. "Baiklah akan kujawab sekarang." Ucapku padanya.

Malu-malunya hilang sejenak, dia tidak lagi memalingkan wajahny. Kini dia terlihat antusias menatapku, menunggu aku segera menjawab pertanyaannya. Sambil memandang langit-langit ruang, aku berkata dengan tenang, "aku bilang begitu, ya karena begitulah adanya. Aku sayang kamu. Bukan kamu yang lain, bukan kamu yang anak dari bapak-bapak atau ibu-ibu lain, pokoknya ka..."

"Aku juga menyayangimu."
Tiba-tiba dia menyambar. Jantung berdebar. Dia memejamkan mata karena malu, tersenyum, lalu kembali membenamkan wajahnya di bawah leherku. Aku masih tercengang, berusaha tenang, lalu memeluknya lebih erat lagi.


- Arjen L. Melkior

No comments:

Post a Comment