Tuesday 9 June 2015

Senja di Jakarta (Bagian 2)

Aku kenal rokok semenjak umurku masih 13 tahun. Rokok pertama yang aku coba adalah rokok kawung milik kakekku. Aku mencoba rokok bukan karena kehendakku sendiri, tapi kakekku yang menawarkan. Aku ingat waktu itu kakekku sedang berkunjung ke rumah saat hujan lebat mengguyur Jakarta. Hari itu, aku dimarahi habis-habisan oleh ayahku karena pulang terlambat dengan keadaan basah kuyup sehabis bermain di bawah derasnya hujan. Aku langsung gugup tak karuan mendengar suara ayahku yang meninggi saat membentak diriku. Wajahku bengong-bengong, badanku langsung kaku. Ayahku membentakku cukup lama, dari bajuku masih basah, mulai kering, sampai basah lagi karena berkeringat. Kakekku yang sejak awal hanya duduk diam menyadari sikapku yang aneh ketika gugup dan panik. Kakek langsung mengehentikan bentakan ayahku dan menarikku ke teras rumah.

"Kamu ini kurus, tapi kalau sudah mematung karena gugup, badanmu seberat meriam. Aku sudah lama memperhatikanmu, sejak kamu mulai bisa bicara, ketika ada yang mengusik batinmu, kamu langsung gugup, panik, dan tingkahmu jadi tidak sehat." Aku menyimak kata-kata kakekku walau badan masih kaku dan berkeringat. Tidak dinyana, kakek yang lebih sering diam ternyata punya perhatian yang besar untuk orang-orang di sekitarnya, tidak seperti anaknya yang sering marah-marah. "Sampai kapan kamu mau mematung begini?" Tanya kakek sambil meletakkan tangannya pada bagian kiri dadaku. "Bahaya. Jantungmu seperti mau jebol." Kakek mengambil dua lintingan rokok yang ada di saku bajunya, digigitnya satu linting dan lintingan yang satu lagi ia selipkan begitu saja di antara bibirku. Aku masih diam, agak kaget dan juga bingung. Kakek segera mengambil korek kayu yang berada di saku celananya lalu menyalakan sebatang korek. "Hisap perlahan rokokmu seperti minum air begitu ujungnya mulai terbakar. Pelan-pelan saja," katanya sambil membakar ujung rokokku. Aku mengikuti persis seperti apa yang kakekku suruh. Tiba-tiba leherku tercekik asap, aku langsung batuk-batuk tak karuan karena setelah menghisap asap rokok, aku benar-benar menahannya di tenggorokanku lalu ku telan semuanya seperti menelan nasi. Kakekku tertawa kecil sambil sambil mengepulkan asap rokok, lalu dengan wajah tanpa dosa kakekku berkata, "ah, aku lupa beri tahu, asapnya jangan ditelan begitu saja, itu bukan nasi, setelah ditarik, kamu keluarkan dari lubang mulut, kalau sudah pandai, kamu akan mampu mengeluarkan asap dari hidung." 
Entah instruksi kakek yang samar-samar atau aku yang kurang pandai mengandalkan logika. Aku coba ulangi instruksi dari kakek dan berhasil mengepulkan asap-asap putih dari mulutku seperti kakek. Setelah menghisap rokok beberapa kali, badanku tidak lagi kaku, keringat yang mengucur segera berhenti, dan urat wajahku merenggang. "Nah, lihat dirimu. Sudah tidak kaku. Sudah tenang. Aku akan memintakan izin kepada orangtuamu agar kamu boleh merokok. Paling tidak, sehari kamu dapat jatah dua batang. Begitu kamu lebih dewasa, jatahmu boleh di tambah sampai 14 batang sehari. Kalau sudah bisa cari uang sendiri, silakan kamu merokok sesuka hati seperti aku ini. Hahahahahaahah." Kata-kata kakekku betul-betul meragukan, dia seperti sedang bergurau. Akan tetapi, kakekku memang sakti, dia berhasil membujuk ayah dan ibuku untuk memperbolehkan aku merokok. 

Sejak saat itu, rokok selalu jadi obat penenangku di saat gugup dan panik. Karena merokok, aku bisa jadi lebih tenang dan percaya diri dalam menghadapi banyak hal. Dengan rokok, aku bisa menjadi pembicara yang baik dan cukup luwes dalam bergaul. Karena merokok pula, jalan pikiranku jadi lebih tenang sehingga aku bisa menuangkan ide-ide dalam kepalaku ke berbagai bentuk dengan lancar. 

Aku mulai jadi perokok aktif ketika usiaku 17 tahun. Rokok sudah menjadi kebutuhan sehari-hari yang harus selalu ada untuk mengatasi kegugupan dan kepanikanku. Walau rokok sangat efektif untuk mengatasi gugup dan panik, rokok tidak bisa menghilangkan bakat lahirku sebagai seorang pemalu yang agak pendiam. 

-Arjen L. Melkior

No comments:

Post a Comment