Sunday 28 June 2015

Senja di Jakarta (Bagian 3)

"Masih pagi tapi rokokmu sudah mau habis." Katanya padaku sambil sedikit jinjit untuk melihat isi kantong bajuku. "Iya, aku menghabiskan 10 batang waktu masih di rumah. Nanti aku akan beli lagi di perjalanan ke rumah Bang Moses." Untung saja aku segera menyalakan rokokku, jika tidak, aku tak akan bisa bicara begitu lancar di hadapan wajah cantiknya, tak akan bisa berjalan di sampingnya tanpa gemetar atau tersandung. Aih, pelet macam mana yang kamu tekuni, Renjani?

Ya, Renjani namanya, perempuan yang pertama kali kulihat sebagai wanita yang sebenarnya selain ibuku. Langkah-langkahnya tegas dan anggun, tutur katanya selalu sopan, bahkan ketika kesalpun dia mampu mengendalikan emosinya lalu meramu amarahnya menjadi sindiran sopan yang menusuk. Sifat tegasnya diiringi dengan kepribadian yang menyenangkan, perilaku yang hangat, selera yang sangat bagus dalam segala hal, serta bakat yang membuat aku makin menyukainya.

"Maaf, aku agak terlambat." Berkat rokokku, kini aku sudah bisa bicara sambil menatap wajahnya. "Ah, santai saja. Kamu baru kali ini berangkat ke rumahku pakai sepeda. Jalan sekarang?" "Tentu."
Kami berdua berjalan ke rumah Bang moses yang tidak begitu jauh dari rumah Renjani. Mungkin hanya butuh waktu 10 menit untuk sampai ke sana dengan jalan kaki.

Walau perjalanan sangat sebentar, aku selalu menikmati pemandangan dan suasana jalan yang kami lewati. Pertokoan yang masih rapi dan sepi karena belum ramai pelanggan, anak-anak di taman, kendaraan-kendaraan yang masih bersih dari debu, dan musik keroncong yang mengudara dari radio milik warung 'Serba Ada'. Begitulah nama warung yang terletak sekitar 20 meter dari rumah Bang Moses. Bukan sekedar nama, tapi warung tersebut memang benar-benar serba ada.

"Jani," begitulah panggilanku untuk Renjani, "tunggu sebentar aku mau ke warung Serba Ada, aku harus beli.." "Sigaret Bentoel Biru. Iya, aku sudah tau. Cepat, sebentar lagi latihan sudah mulai." Setelah membeli rokok kesukaanku, kami segera berjalan cepat menuju rumah Bang Moses. Sesampainya di sana, kawan-kawan yang lain sedang menyiapkan alat musik mereka. Soesilo sedang menyetel senar ukulelenya sambil duduk di kursi rotan, sementara itu Roni sudah berdiri dengan bass besarnya yang ia namakan Juwita. Di sebelah Roni terlihat amir yang baru mengeluarkan biolanya dari kotak, sedangkan Othman sudah mengalunkan melodi gitar hawaii nya, menyender pada pilar teras, sembari menunggu yang lain bersiap. "Ah! Ini dia! Penyanyi kita, si pipi merah merona dari Menteng, dan.. Herman, si pengawal. Hahahaha!" Bang Moses menyambut kedatanganku dan Rinjani dengan bersemangat dan agak mengejek sambil memasang simbal drum.

"Nah, karena Anton tidak ada, aku akan menggantikannya main drum, dan posisi pianis kosong dulu sampai kita dapat kawan yang bisa main piano atau drum. Tempo kita bisa ngawur kalau tidak ada drumnya." Bang Moses adalah pemimpin sekaligus guru kelompok musik kami. Beliau adalah seorang musisi berbakat yang dulunya dipecat dari kelompok musik lamanya dan langsung mendirikan kelompok baru sendiri semenjak dipecat lima tahun lalu. Sejak awal didirikannya kelompok musik pimpinan Bang Moses, aku direkrut sebagai pemain ukulele. Aku masuk kelompok ini bersamaan dengan sahabatku Anton yang direkrut sebagai pemain drum. Setiap tiga kali seminggu aku dan kawan-kawan yang lain berkumpul di rumah Bang Moses untuk berlatih musik. 

"Baiklah, kita mulai langsung dari lagu jazz yang baru kita selsaikan partiturnya minggu lalu. Kamu sudah hafal liriknya, Rinjani?" Tanya Bang Moses kepada Renjani. Aku yang tadinya masih duduk santai segera menggapai ukulele yang sudah disiapkan Bang Moses dan ditaruh pada kursi rotan di sampingku. 

"Soal aku sudah hafal atau belum, mari buktikan sama-sama." Jawab Rinjani pada Bang Moses sambil tersenyum manis.


Luka dan derita
seperti aku dan kamu
tak terpisahkan atau tergantikan
tak akan goyah atau bimbang
selalu bersama  berdampingan
menerobos mereka yang mengajak perang

Luka dan derita
seperti aku dan kamu
kita sama-sama tahu
kita ditakdirkan untuk bersama
kita ditakdirkan untuk ada

Luka dan derita
seperti aku dan kamu
dunia tidak menginginkan kita
dunia terus memerangi kita


-Arjen L. Melkior




No comments:

Post a Comment