Thursday 4 June 2015

Senja di Jakarta (Bagian 1)

Dengan rantang makanan di kiri stang, aku mengayuh sepedaku secepat mungkin menuju rumahnya. Jarak dari Senen ke Menteng cukup jauh juga jika ditempuh dengan sepeda. Ini pertama kali aku datang ke rumahnya dengan sepeda. Biasanya aku dibonceng Anton dengan motor bapaknya, tapi semenjak Anton pindah ke Bandung minggu lalu aku tidak ada pilihan lain selain menggunakan sepeda Raleigh yang sudah umur ini. Aku harap sepeda tua ini tidak akan bikin aku celaka.

Aku terus mengayuh sepedaku melewati jalan raya yang ramai. Pagi itu udara cukup sejuk walau sinar matahari menyilaukan. Baguslah, aku jadi tidak berkeringat. Semoga ketika aku sampai di rumahnya, aku masih wangi sabun mandi. Tidak biasanya aku bersepeda dengan dandanan rapi dan wangi begini. Topi fedora putih, kemeja putih lengan panjang, celana pantalon abu-abu, gesper kulit kerbau, dan sepatu kulit hitam yang baru ku semir semalam. Aku merasa seperti anak kapten Belanda yang sedang bersepeda santai di kota. Tapi, rantang makanan gambar kembang yang aku bawa menjadi identitas pribumiku. Tidak apa, aku merasa cukup rupawan walau sambil bawa-bawa rantang.

Alunan musik keroncong dari pertokoan pinggir jalan membuat bersepeda jadi lebih menyenangkan. Aku bersepeda sambil bergumam mengikuti melodi musik keroncong yang bergema di jalanan. Tanpa terasa, aku sudah sampai di Menteng Raya. Gerbang rumahnya yang dihiasi bunga-bunga bougenville dan anggrek sudah terlihat oleh pandangan mataku. Entah mengapa, setiap aku hampir sampai di rumahnya, jantungku mendadak berdetak lebih kencang, tangan berkeringat, dan nafasku menjadi berat. Aku memang orang yang pemalu dan sering gugup, tapi masa' sudah hampir tiga tahun berteman, aku masih gugup setiap datang ke rumahnya.

Seperti biasa, aku akan membunyikan lonceng kerbau yang digantung di pagar rumahnya sampai Mbok Atun membukakan pagar dan mempersilakan aku masuk. 

"Eh, Mas Herman. Tumben naik sepeda. Biasanya naik motor sama Mas Anton. Nah, Mas Anton kemana? Kok sendiri?" Ujar Mbok Atun. Dari sekian banyak pembantu yang ada di rumah ini, Mbok Atun adalah pembantu yang paling aku ingat namanya. Aku mengingatnya bukan hanya karena dia yang selalu membukakan pintu, tapi juga karena kebawelannya dan kelucuannya setiap menggoda Anton. "Biasanya saya ke sini naik motor Anton, tapi dia sudah berangkat ke Bandung sejak minggu lalu. Jadi, karena sudah tidak ada tumpangan, saya tidak ada pilihan lain selain naik sepeda." Jawabku kepada Mbok Atun. Mbok Atun adalah janda yang sudah memasuki usia 50an, tapi seleranya adalah brondong berbadan kekar seperti Anton. "Yah, gak bisa mbok godain lagi Mas Antonnya. Ya sudah, itu sepedanya parkir di tempat biasa parkir motor saja ya, mas." Kata Mbok Atun kepadaku sambil berjalan kembali ke dalam rumah.

Aku segera memarkir sepedaku di tempat Anton biasa memarkir motornya. Saat sedang memarkir sepeda, aku menyadari kegugupanku sudah hilang semenjak percakapanku dengan Mbok Atun berlangsung. Walau Mbok Atun memang bawel, tapi kebawelan dan kelucuannya itulah yang menyelamatkanku dari perasaan gugup yang bisa bikin aku banjir keringat. 

"Herman?" Tiba-tiba suara lembutnya merambat dari balik punggungku, menyapaku, menyebut namaku. Aih, aku langsung jadi gugup lagi. Aku memutar balik badanku dan langsung dikejutkan oleh dirinya yang ternyata sejak tadi berdiri kurang dari satu meter di belakangku. Aku langsung mematung ketika berhadap-hadapan dengannya. Hidungnya yang bangir membuat membuat jarak kami seakan lebih dekat. Rambut hitamnya yang bergelombang membuat wajah cantiknya semakin menarik untuk dipandang, setelan blouse dan rok biru, serta sepatu hak coklat yang menghiasi kakinya nampak begitu cocok dan menjadi paduan yang indah untuk wanita seperti dia.

"Herman? Ada apa? Wajahmu terlihat kaget seperti habis melihat bedil penjajah." Ucapnya padaku dengan suara lembutnya. Masih dengan wajah kaget dan tubuh kaku, aku segera menyalakan rokok dan menjawabnya, "tidak, tidak ada apa-apa."

Aduuuuuuhh. 


-Arjen L. Melkior

No comments:

Post a Comment