Sunday 12 April 2015

Gulungan Rindu (I)

Matanya yang bersinar-sinar itu selalu berhasil menangkap sukmaku. Ia selalu saja bisa menyuguhi aku pandangan hangatnya walau keringat sudah mengalir, kepala sudah puyeng, dan kata tiada lagi. Dia adalah satu dari sedikit orang di dunia yang di saat sumringah bukan hanya bibirnya yang tersenyum, tapi juga matanya.


Senyuman dari sepasang mata yang indah itu selalu ku rindukan. Tak rela aku rasanya bilamana ada hal yang mengganggu hingga membuat sirna senyuman dari sepasang mata miliknya. Akan ku lakukan segala upaya untuk menjaga kedua matanya agar tetap tersenyum. Apapun itu resikonya, dihadang mati pun aku akan tetap berusaha menerjang. Senyuman dari matanya begitu berharga, sebab itulah pertanda daripada kebahagiaan yang jujur dan bersih dari segala kekhawatiran. 

***


Ah, senyuman tulus nan indah dari kedua matanya seakan mengundang tubuh ini untuk mendekat dengan tubuhnya hingga terasa gaduh jantung kami berdua, berdegup dalam satu irama, mecipta elegi sunyi yang hanya kami bisa dengar. Alunan elegi itu seakan membawa raga kami makin dekat satu sama lain, hidung kami beradu, bibir mengalun dengan syahdu, menjajah kening hingga dagu. Perlahan kami bersentuhan dengan lembut, mata tertutup, tapi batin ini masih bisa merasakan bahwa di balik kelopaknya, sepasang mata indah itu masih tersenyum.


Ketika sunyi berlarut-larut dan matanya yang tersenyum itu makin dalam menatapku, aku ingin segera saja melarutkan diriku dan dirinya dalam sunyi. Biar kami saling sayang dalam sunyi, merasakan hangat dalam sunyi, tak ada yang mengganggu, hanya aku dan dia, berdua dalam sunyi. Hingga akhirnya aku salah tingkah dan bilang, 'aku sayang kamu'.



10 April 2014
-Arjen L. Melkior

No comments:

Post a Comment