Saturday 14 March 2015

Tango Dilema dan Derita (Babak 1)

Di sudut ruangan sore itu, dia duduk di lantai. Kakinya ditekuk dan dipeluknya rapat-rapat hingga paha bertemu dada. Kepalanya ia tundukkan hingga dahi menyentuh kedua lutut. Nafasnya patah-patah. Sesekali ia mengusap-usap hidung dan matanya. Kedua lengan baju dan sebagian celananya sudah basah dan lengket.

Dia adalah perempuan baik-baik yang sangat mencintai seorang lelaki yang berpikir dengan zakarnya. Dia adalah perempuan baik-baik yang sangat suka memberi tanpa pamrih. Dia adalah perempuan baik-baik yang memberi keperawanannya tanpa pamrih kepada seorang lelaki yang akalnya berpusat pada zakarnya. Dia adalah perempuan baik-baik yang baru ditinggal seorang lelaki yang sangat ia cintai. 

"Usia belum matang, dan aku sudah tidak perawan." Ucapnya datar dengan mata menerawang dan rahang bergetar. Badannya kotor dibalut lumpur dosa. Telinganya hampir tuli, jantungnya hampir bocor ditusuk-tusuk hinaan dan makian. 

"Aku sudah habis. Hal yang seharusnya menjadi modalku untuk tetap bisa menyandang cap manusia yang baik, aku lepaskan begitu saja dengan cara-cara haram. Aku bodoh. Aku terbujuk rayuan setan bengal, dimakan nafsu, lalu bergejolak tanpa pikir panjang. Pandangan keluarga, teman, dan masyarakat sekitar terhadapku hancur berantakan. Aku dihina, dicaci, dimaki, dilepeh dari lingkungan sosial karena kebodohan fatalku. Aku disebut binatang karena nafsu yang menggila, aku dikutuk dengan sebutan jalang, aku diancam dengan ramalan-ramalan nasibku diakhirat. Aku dikucilkan karena aku sudah dianggap contoh buruk yang kotor dan menjijikan."

Aku memandanginya bicara dengan khusyuk dan kemudian memeluknya.  Begitu aku memeluknya, badannya yang tegang mendadak rileks seakan ada suatu beban yang terangkat. Masih dalam pelukan, aku berkata padanya dengan tenang, "sudah, jangan cengeng. Lelaki itu bangsat, betul. Kamu berdosa, betul juga. Sana cuci muka dan ganti pakaian. Kamu jadi terlihat betulan kotor bersimbah ingus begini."

Tiba-tiba ia merenggangkan dirinya dari pelukanku. Isak tangisnya berganti dengan wajah penuh tanda tanya. "Kamu mendengarkan penderitaanku dengan seksama lalu memelukku dengan sangat tulus. Tapi begitu kamu membuka mulut, tidak kudengar sedikitpun belas kasihan darimu. Aku jengkel... tapi kamu tidak menghinaku. Aku tidak mengerti."

*

Aku tidak mau mengasihaninya. Belas kasihan adalah senjata paling mematikan bagi jiwa manusia. Belas kasihan ibarat pistol berbentuk botol susu. Terlihat aman dan mampu memberi kenyamanan namun mematikan. Belas kasihan hanya akan menghambat seseorang untuk bangkit dan berusaha. Dengan spesialisasinya dalam menenggelamkan manusia dalam kesedihan yang berkepanjangan, belas kasihan itu akan tumbuh menjadi pembunuh.

Akupun tidak mau menghinanya. Apa hakku untuk menghina? Dia memang bodoh dan berdosa, tapi apa bukan namanya jahat dan tega bilamana kita menyerang orang yang menderita dengan berbagai hinaan? Bukankah kita juga binatang yang liar jika dengan seenaknya mencaci orang yang menderita dengan sebutan binatang? 

Aku sendiri juga makhluk hidup dengan keterbatasan. Siapalah aku ini untuk menjauhi dan menghukum dia karena dosanya. 

Tuhan yang berkali-kali dikhianati milyaran manusia  pun masih mau mengampuni.

*

Jangan cengeng, jangan sombong.


- Arjen L. Melkior

No comments:

Post a Comment